BATAM, Buruhtoday - Setiap
negosiasi menyangkut hubungan industrial diminta tidak hanya menekankan
pada kenaikan gaji dan fasilitas buruh semata. Tetapi
juga harus
memperhatikan nasib buruh secara keseluruhan. Karena, jika tidak
tindakan tersebut hanya akan berujung pada lahirnya pengangguran baru.
Hal itu dikemukakan Khoirul Akbar, pengacara dari Kantor Penasehat
Hukum, Akbar Albanjari di Batam, terkait nasib 732 karyawan PT Sun
Creation Indonesia (SCI) Batam yang terkatung-katung setelah ditinggal
pergi Presiden Direktur PT SCI Batam, Kazaya Nakauchi, akhir Juni lalu.
"Seharusnya,
negosiasi terkait hubungan industrial tidak melulu fokus pada kenaikan
gaji dan fasilitas saja, tapi juga memperhatikan nasib buruh yang
bersengketa, jangan sampai negosiasi itu malah mengantarkan mereka
menjadi pengganguran baru," tutur Khoirul Akbar, kemarin.
Kasus
PT SCI Batam ini, lanjut Khoirul Akbar SH, bukan yang pertamakali
terjadi di Batam tapi sudah sering dan berulang-ulang. Seharusnya kasus
ini bisa diantisipasi, jika perangkat hukum dan sistem pengawasan semua
pihak di Batam berjalan dengan baik juga.
Jika serikat pekerja
berfungsi memediasi para buruh dengan pihak manajemen tanpa berbagai
bentuk tekanan, misalnya dengan menggelar aksi demo atau ancaman mogok
kerja, lanjutnya, bisa jadi kasus semacam ini bisa diselesaikan dengan
happy ending. Semua pihak akan bisa menerima solusi yang disepakati
bersama dengan mempertimbangkan kondisi yang ada.
Namun, pihak
manajemen PT SCI Batam kecewa dan merajuk setelah mendengar hasil
pertemuan dengan serikat pekerja yang memediasi buruh PT SCI Batam.
Karena mereka menyampaikan berbagai tuntutan yang tidak sanggup dipenuhi
oleh manajemen PT SCI Batam. Di antaranya, kenaikan uang makan dan
kenaikan tunjangan lain. Apalagi, biaya operasional perusahaan juga
membengkak sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Lalu,
pihak manajemen PT SCI Batam meminta advise kepada Dinas Tenaga Kerja
(Disnaker) Batam mengenai hal itu. Tapi mereka tidak mendapat penjelasan
yang memuaskan. Sehingga, terjadilah fakta yang sekarang ini dihadapi
bersama para buruh. Dan kasus ini pun menjadi perhatian semua pihak,
terutama para pemerhati investasi dan masalah perburuhan di Batam.
"Batam harus punya peraturan daerah yang mengatur soal outsoursing," tegas Khoirul Akbar.
Tujuannya,
meskipun undang-undang yang menghapus outsoursing seperti yang dituntut
para aktivis buruh itu belum ada, tapi sudah ada mekanisme yang
mengatur soal nasib tenaga kerja outsoursing itu di Batam.
"Jadi, tidak ada lagi buruh yang bertahun tahun nasibnya masih buruh outsoursing," papar pengacara muda itu lagi.
Jika
hal-hal yang terjadi pada kasus PT SCI Batam ini tidak diantisipasi dan
ditanggapi serius oleh semua pihak, maka bukan tidak mungkin kasus ini
akan terus berulang kembali. Padahal, dari satu kasus ini saja, bakal
bertambah jumlah penggangur di Batam sebanyak 732 orang.
"Itu
artinya akan ada hampir 3.000 orang lagi yang terancam hidupnya. Apakah
hal ini akan dibiarkan menimpa ribuan perusahaan asing lain di Batam?
Kita minta pemerintah memikirkan," harapnya. (int)
(Sumber HK )