Buruhtoday - Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus Pasal 59 UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU
PPTKLN) yang dimohonkan tiga buruh migran Indonesia. Pasal itu mengatur
keharusan TKI pulang ke Indonesia ketika memperpanjang perjanjian kerja. Pasal kontrak TKI itu dinilai bertentangan dengan konstitusi.
“Pasal 59 UU PPTKI di Luar Negeri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 50/PUU-XII/2013 di ruang sidang MK, Kamis (16/10).
Arni Aryani, Siti Masitoh, Ai Lasmini memohon pengujian Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKLN. Menurut pemohon, berlakunya pasal-pasal itu telah membatasi hak TKI mengurus perpanjangan kontraknya secara mandiri.
Misalnya, Pasal 58 ayat (2) dinilai pemohon menyebabkan ketiadaan jaminan bagi para pemohon untuk kembali bekerja pada majikan yang sama. Bahkan, dengan adanya ketentuan itu, para TKI berpotensi kehilangan kesempatan kerja karena PPTKIS sering mempersulit TKI mengurus perpanjangan kerja.
Karena itu, meminta ketentuan itu harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dengan tafsir perpanjangan yang dilakukan sendiri dengan majikan di luar negeri adalah sah dan tetap berlaku dengan segala risiko dan akibat hukumnya. Jika tidak, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah memandang ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia kontradiktif. Pasal 59 tersebut ternyata menyulitkan TKI kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama. Padahal jika tidak pulang terlebih dahulu ke Indonesia, TKI bersangkutan dapat bekerja pada majikan dan/atau kualitas pekerjaan yang sama.
“Pasal 59 UU No. 39 Tahun 2004 justru menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kesempatan bagi TKI untuk memperpanjang perjanjian kerja dengan pengguna jasa TKI yang sesuai/cocok/diinginkan oleh TKI yang bersangkutan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.
Menurut Mahkamah, ketentuan itu menjadi tidak efektif dan tidak efisien selama belum didukung oleh kemudahan dan kecepatan pengurusan visa serta prioritas bekerja pada tempat yang sama ketika dilakukan perpanjangan perjanjian kerja. Mahkamah tak menemukan ketentuan yang jelas bagaimana proses kepulangan TKI ke Indonesia. Lagipula tanpa adanya norma pasal itu, keinginan TKI pulang bersilahturahmi atau menjaga keharmonisan keluarga sesuai amanat Pasal 56 UU PPTKLN tidak terhalangi.
“Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi yang kuat mengapa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika akan melakukan perpanjangan perjanjian kerja. Sementara TKI yang bekerja pada pengguna selain perseorangan tidak dikenai keharusan yang sama,” ujarnya.
Arief menegaskan pembedaan perlakuan terhadap TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan Pasal 59 UU PPTKLN memunculkan potensi kerugian pada TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan, terutama potensi kesulitan TKI untuk kembali bekerja pada majikan dan/atau tempat kerja yang sama.
Karenanya, Pasal 59 UU PPTKLN telah menghalangi hak para pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan begitu, permohonan pengujian konstitusional Pasal 59 UU PPTKLN beralasan menurut hukum.
“Pasal 59 UU PPTKI di Luar Negeri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 50/PUU-XII/2013 di ruang sidang MK, Kamis (16/10).
Arni Aryani, Siti Masitoh, Ai Lasmini memohon pengujian Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKLN. Menurut pemohon, berlakunya pasal-pasal itu telah membatasi hak TKI mengurus perpanjangan kontraknya secara mandiri.
Misalnya, Pasal 58 ayat (2) dinilai pemohon menyebabkan ketiadaan jaminan bagi para pemohon untuk kembali bekerja pada majikan yang sama. Bahkan, dengan adanya ketentuan itu, para TKI berpotensi kehilangan kesempatan kerja karena PPTKIS sering mempersulit TKI mengurus perpanjangan kerja.
Karena itu, meminta ketentuan itu harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dengan tafsir perpanjangan yang dilakukan sendiri dengan majikan di luar negeri adalah sah dan tetap berlaku dengan segala risiko dan akibat hukumnya. Jika tidak, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah memandang ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia kontradiktif. Pasal 59 tersebut ternyata menyulitkan TKI kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama. Padahal jika tidak pulang terlebih dahulu ke Indonesia, TKI bersangkutan dapat bekerja pada majikan dan/atau kualitas pekerjaan yang sama.
“Pasal 59 UU No. 39 Tahun 2004 justru menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kesempatan bagi TKI untuk memperpanjang perjanjian kerja dengan pengguna jasa TKI yang sesuai/cocok/diinginkan oleh TKI yang bersangkutan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.
Menurut Mahkamah, ketentuan itu menjadi tidak efektif dan tidak efisien selama belum didukung oleh kemudahan dan kecepatan pengurusan visa serta prioritas bekerja pada tempat yang sama ketika dilakukan perpanjangan perjanjian kerja. Mahkamah tak menemukan ketentuan yang jelas bagaimana proses kepulangan TKI ke Indonesia. Lagipula tanpa adanya norma pasal itu, keinginan TKI pulang bersilahturahmi atau menjaga keharmonisan keluarga sesuai amanat Pasal 56 UU PPTKLN tidak terhalangi.
“Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi yang kuat mengapa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika akan melakukan perpanjangan perjanjian kerja. Sementara TKI yang bekerja pada pengguna selain perseorangan tidak dikenai keharusan yang sama,” ujarnya.
Arief menegaskan pembedaan perlakuan terhadap TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan Pasal 59 UU PPTKLN memunculkan potensi kerugian pada TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan, terutama potensi kesulitan TKI untuk kembali bekerja pada majikan dan/atau tempat kerja yang sama.
Karenanya, Pasal 59 UU PPTKLN telah menghalangi hak para pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan begitu, permohonan pengujian konstitusional Pasal 59 UU PPTKLN beralasan menurut hukum.
“Sedangkan pengujian Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), dan
Pasal 60 UU PPTKI tidak beralasan menurut hukum”.
Perlu disosialisasikan
Perlu disosialisasikan
Ditemui usai persidangan, kuasa hukum pemohon Sondang Tampubolon menyambut baik putusan yang membatalkan Pasal 59 UU PPTKLN itu karena mengandung ketidakadilan.
“Adanya putusan ini mereka (TKI) tidak wajib
kembali ke Indonesia saat akan memperpanjang kontraknya selama visanya
masih berlaku, mereka masih bisa bekerja. Ini perlu disosialisasikan,”
ujar Sondang di gedung MK.
Selama ini, kata dia, ketika TKI masa berlakunya visanya habis, mereka harus pulang ke Indonesia dan kembali lagi ke negara tujuan. Namun, kondisi ini tak jarang berakibat kesempatan untuk bekerja di tempat yang sama menjadi hilang.
Selama ini, kata dia, ketika TKI masa berlakunya visanya habis, mereka harus pulang ke Indonesia dan kembali lagi ke negara tujuan. Namun, kondisi ini tak jarang berakibat kesempatan untuk bekerja di tempat yang sama menjadi hilang.
“Padahal, mereka sudah mendapatkan majikan yang
baik, ini menjadi dilema dan sering dijadikan ‘permainan’,” katanya.
Menurutnya, kalau alasan kembali ke Indonesia agar mereka bisa bersilaturahmi tidak tepat. Sebab, saat lebaran atau hari raya mereka bisa diperkenankan pulang ke Indonesia, tidak harus menunggu perjanjian kerjanya berakhir.
Menurutnya, kalau alasan kembali ke Indonesia agar mereka bisa bersilaturahmi tidak tepat. Sebab, saat lebaran atau hari raya mereka bisa diperkenankan pulang ke Indonesia, tidak harus menunggu perjanjian kerjanya berakhir.
“Sebetulnya pengaturannya itu mudah saja, selama
mereka melapor kedutaan harusnya sih sudah ter-cover. Jadi, tidak ada alasan bagi pemerintah menghalangi,” tegasnya.
(sumber Hukumonline.com)