Jakarta,Buruhtoday.com - Beberapa buruh asal Kerawang dan Bogor yakni Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdilah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen
Kurniawan, Ali Imron Susanto, Mohamad Robin, Riyanto, Havidh Sukendro,
dan Wawan Suryawan mempersoalkan UU No. 2 Tahun 2004 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain mengajukan uji formil, para pekerja tersebut memohon pengujian Pasal 81 UU PPHI terkait istilah “gugatan” (kontentiosa) hubungan industrial diajukan ke PHI. Pasal 81 UU PPHI menyebutkan “Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.”
Dalam sidang pendahuluan, salah satu pemohon Muhammad Hafidz menilai beleid itu belum melindungi pekerja yang kerap dalam posisi tidak seimbang dengan pengusaha terutama ketika terjadi sengketa hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kemampuan buruh sangat terbatas memahami hukum acara sengketa hubungan industrial serta tidak ada biaya menyewa jasa pengacara untuk membela hak-hak mereka.
Dia melanjutkan Pasal 81 UU PPHI yang mengatur model penyelesaian sengketa berdasarkan gugatan (contentiosa) antara buruh dan pengusaha di PHI tanpa melibatkan pemerintah justru mengakibatkan buruh sulit mendapatkan hak-haknya. Hafidz menuding pengusaha seringkali berupaya menghilangkan kewajiban dengan cara berinisiatif untuk mem-PHK pekerjanya melalui gugatan atau kontenstiosa ke PHI.
“Apabila pengusaha tidak menggugat PHK ke PHI, buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hubungan kerjanya, akhirnya buruh ‘dipaksa’ menggugat,” Muhammad Hafidz dalam persidangan yang diketuai Anwar Usman, Rabu (4/2). Anwar didampingi Aswanto dan I Gede Dewa Palguna selaku anggota majelis.
Terlebih, dalam praktiknya buruh seringkali kesulitan memperoleh bukti-bukti. Bahkan, dapat dikatakan mustahil buruh memperoleh bukti-bukti yang diperlukan untuk mengajukan gugatan ke PHI. Pengusaha relatif lebih menguasai bukti-bukti, semisal salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, atau surat PHK. “Akibatnya, gugatan buruh seringkali ditolak PHI karena minimnya bukti-bukti yang dimiliki,” ungkapnya.
Para pemohon meminta agar Pasal 81 UU PPHI dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan PHK harus dengan ‘permohonan’ diajukan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja.”
Dia berharap apabila permohonan ini dikabulkan setiap PHK inisiatif pengusaha diajukan terlebih dahulu permohonan penetapan PHK ke PHI. “Pemeriksaannya, dengan hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan,” harapnya.
Menanggapi permohonan, Anwar Usman mengingatkan sesuai putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 terkait batas waktu pengujian formil maksimal 45 hari sejak undang-undang yang dimohonkan pengujian diundangkan. “Saya tidak tahu apakah Saudara mampu memberi argumentasi yang kuat agar kita bisa menerobos putusan MK itu,” kata Anwar Usman.
Aswanto meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 81 UU PPHI yang kemudian bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dia meminta pemohon memperjelas argumentasi tentang alasan permohonan yang menyatakan Pasal 81 UU PPHI menimbulkan ketidakpastian hukum. “Ini harus diurai di bagian posita permohonan Saudara,” sarannya.
Palguan punya saran lain. “Kalau boleh saya sarankan sebaiknya pengujian formil undang-undang dicabut saja karena sudah melewati jangka waktu 45 hari,” ujarnya.
Palguan juga meminta pemohon memberi alasan rasionalitas mengapa Pasal 81 UU PPHI dinilai menimbulkan ketidakpastian. Padahal, jika dibaca secara saksama, Pasal 81 UU PPHI sudah cukup jelas.
red (Hukumonline.com)