Buruhtoday.com - Bukan mimpi tapi kenyataan, hal inilah yang sering dirasakan para pekerja rumah tangga yang mencari nafkah dibeberapa negara di luar negeri, bahkan sudah banyak tenaga kerja indonesia (TKI) yang menjadi korban dari kekerasan majikan yang menampung mereka.
Sebagai pekerja rumah tangga diluar negeri berharap mendapat upah yang jauh lebih baik, namun harapan itu tidak semua dirasakan para TKI, salah satunya adalah Erwiana Sulistyaningsih, yang mengalami penyiksaan berat di Hong Kong,
memohon pemerintah Indonesia tidak melempar tanggung jawab ke agen
penyalur tenaga kerja yang hanya mencari profit. Permohonan Erwiana
merupakan sekelumit dari pemaparannya dalam wawancara eksklusif dengan
kontributor BBC Indonesia di Hong Kong:
Tanya (T): Mbak bilang agen pernah kasih buku tenaga kerja?
Erwiana (E):
Di Bandara (Chek Lap Kok, Hong Kong). Iya,
(saya) dikasih buku tentang
buku tenaga kerja di Hong Kong oleh petugas…yang berseragam begitu.
Dalam bahasa Indonesia itu. Tapi sampai di agen, (bukunya) diminta.
T: Di agen apa saja yang diminta?
E:
Paspor saya juga diminta, diambil, buku itu juga diambil, buku
hukum-hukum ketenagakerjaan itu, dan juga saya nggak bisa ngambil KTP
saya. Jadi selama kerja di sana saya nggak punya ID (kartu identitas).
T: Seharusnya apa yang seharusnya pemerintah Indonesia lakukan?
E:
Kalau menurut saya, ubahlah mekanismenya. Lindungilah. Negara jangan
lempar tanggung jawab. Lindungilah buruh migran Indonesia...Jangan
dilempar ke agen atau PJTKI (Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Mereka itu mencari profit dari kita, tidak bertanggung jawab.
T: Perlindungannya bagaimana?
E:
Ubah peraturannya, beri mekanisme yang…kalau ada apa-apa melapornya
gampang. Terbuka untuk siapapun, yang keluar negeri. Coba kalau di agen,
kita nggak boleh bawa HP kalau mau keluar negeri. Kita tidak
ditunjukkan tentang hukum-hukum negara tujuan dan kita tidak diberi
pendidikan. Kita cuma diajari tentang pekerjaan rumah tangga saja tanpa
dibekali tentang hukum-hukum tenaga kerja negara sini, jadinya kita
kayak dibodohi.
T: Selama di agen atau di PJTKI, pelatihannya apa saja?
E: Kalau agen cuma soal bahasa dan pekerjaan rumah tangga saja tanpa belajar tentang hukum, gitu.
T: Berapa sih agency fee Mbak?
E: Waktu itu (HK$) 2.543 per bulan, selama 6 bulan.
Tidak serius
T: Apa pernah ada yang menganggap kasus Mbak tidak serius?
E: Ya, waktu saya pulang itu. Waktu mau ke (kantor) BNP2TKI. Kita mau lapor, (petugasnya) nggak ada.
T: Jadi, Mbak pernah sekali berusaha melaporkan kasus Mbak saat di Bandara?
E: Iyalah, orang-orang di bandara mau laporin tapi nggak ada petugasnya.
T: Kemarin Mbak mengritik kebijakan pemerintah Hong Kong bahwa pembantu harus tinggal di rumah majikan. Kenapa begitu?
E: Ya karena saya nggak bisa kemana-mana. Tinggal di dalam rumah, nggak
ada orang yang tahu saya dianiaya, saya tidurnya kurang, saya
diperlakukan seperti budak, seperti robot, 21 jam kerja, 20 jam kerja,
setiap hari tanpa ada peraturan jam kerja. Saya nggak diberi makan cukup saya juga nggak digaji. Nggak ada orang yang tahu kita itu di dalam rumah diapain oleh majikan.
Ada nggak pemerintah (Hong Kong) itu ngecek? Ada nggak
investigasi terhadap buruh migran, terhadap PRT, tentang kondisi di
rumah majikan? Dari kasus saya sendiri, di ruang itu ada kamera. Tapi di
sini tidak ada peraturan polisi bisa mengambil kamera itu sebagai
bukti, dan majikan punya privasi untuk menyembunyikan kamera itu. Jadi
tidak ada jaminan kalau kita dianiaya terus ada kamera, nantinya bisa
ketahuan dan majikan harus nantinya ngasih ke polisi.
T: Harusnya?
E: Ya, kalau kita bisa keluar, kita bisa sharing dengan orang-orang, banyak teman, kalau ada masalah jadi tahu harus bagaimana, lapor polisi atau apa. Tapi dengan mandatory live in saya nggak bisa kemana-mana. Saya tidur di lantai, nggak dikasih tempat tidur yang properly. Mungkin nggak baguslah, yang penting standarlah buat manusia.
( Sumber BBC)