Batam,Buruhtoday.com - Setiap buruh/pekerja yang megalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai Undang-undang ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. pengusaha,pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Apakah dibenarkan Perusahaan mem-PHK seorang karyawan yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ?
Sahabat pembaca Buruhtoday.com , jawaban pertanyaan diatas sudah jelas, setiap karyawan yang mengalami kecelakaan kerja atau dipecat karena cacat akibat kecelakaan kerja (contoh : salah satu jarinya putus) tetapi masih bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya/normal dan karyawan tersebut tidak bisa menerimanya karena dikhawatirkan tidak ada perusahaan lain yang mau menerimanya bekerja karena cacat.
Apakah dibenarkan Perusahaan mem-PHK seorang karyawan yang mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ?
Sahabat pembaca Buruhtoday.com , jawaban pertanyaan diatas sudah jelas, setiap karyawan yang mengalami kecelakaan kerja atau dipecat karena cacat akibat kecelakaan kerja (contoh : salah satu jarinya putus) tetapi masih bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya/normal dan karyawan tersebut tidak bisa menerimanya karena dikhawatirkan tidak ada perusahaan lain yang mau menerimanya bekerja karena cacat.
Menurut Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”),
pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Jika
segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud dari PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PHK merupakan pilihan terakhir,
dan hal tersebut harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dalam
melakukan PHK terhadap pekerja, pengusaha harus mengetahui bahwa ada
beberapa hal yang tidak boleh dijadikan alasan dilakukannya PHK, yaitu (Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan):
- Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
- Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh menikah;Ppekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Melihat
pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ini berarti
pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja karena cacat tetap akibat
kecelakaan kerja. Apalagi dalam kasus Anda, cacat tersebut tidak
menghalangi pekerja untuk bekerja seperti biasa.
Jika PHK dilakukan atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Perlu
Anda ketahui juga, jika pengusaha berusaha melakukan perundingan dengan
pekerja mengenai PHK atas dasar cacat, dan tidak ditemui kata sepakat,
maka pengusaha tidak dapat melakukan PHK terhadap pekerja. Jika tidak
tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, pengusaha hanya dapat
mem-PHK pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan).
Jaminan Kecelakaan Kerja Bagi Karyawan Kontrak
Contoh Pertanyaan : Salam, Min saya adalah mantan seorang karyawan kontrak salah satu pabrik di Karawang. Pada 25 Februari 2011 saya mendapat kecelakaan kerja yang membuat satu ruas jari tengah kanan saya diamputasi. Namun, akhir Juli 2012 saya habis kontrak dan perusahaan seolah tak mau tahu dengan situasi dan kondisi saya saat itu dan memberhentikan saya sesuai dengan kontrak kerja. Bagaimana hukumnya perusahaan yang melakukan hal seperti ini? Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.
Contoh Pertanyaan : Salam, Min saya adalah mantan seorang karyawan kontrak salah satu pabrik di Karawang. Pada 25 Februari 2011 saya mendapat kecelakaan kerja yang membuat satu ruas jari tengah kanan saya diamputasi. Namun, akhir Juli 2012 saya habis kontrak dan perusahaan seolah tak mau tahu dengan situasi dan kondisi saya saat itu dan memberhentikan saya sesuai dengan kontrak kerja. Bagaimana hukumnya perusahaan yang melakukan hal seperti ini? Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.
Pada
dasarnya, setiap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak
menerima Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”). Hal ini juga berlaku bagi tenaga kerja kontrak sebagaimana dikatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek beserta penjelasannya:
Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek:
“Program
jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang
ini.”
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek:
“Yang
dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan
kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha (perusahaan)
atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan, dan kontrak.
Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak dari tenaga kerja,
maka ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perusahaan atau perorangan
wajib menyelenggarakannya.”
Berdasarkan
kedua pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa program Jamsostek ini
wajib diikuti oleh tenaga kerja sejak mereka bekerja pada pengusaha
tersebut dan sejak saat itu pula pekerja berhak atas Jamsostek. Lebih
lanjut, mengenai Jamsostek untuk kecelakaan kerja, Anda dapat membaca
artikel Pembayaran Jaminan dan Santunan Kecelakaan Kerja.
Berdasarkan
uraian pertanyaan Anda, kecelakaan kerja yang membuat satu ruas jari
tengah kanan Anda diamputasi ini merupakan suatu kondisi yang dalam Pasal 1 angka 7 UU Jamsostek
disebut dengan cacat. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya
fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan
pekerjaan.
Dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 609 Tahun
2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit
Akibat Kerja dikatakan bahwa cacat adalah keadaan hilang atau
berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak
langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk
menjalankan pekerjaan.
Kecacatan dapat dibagi dalam 3 jenis:
- Cacat sebagian untuk selamanya adalah cacat yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh.
- Cacat kekurangan fungsi adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh untuk selama-lamanya.
- Cacat total untuk selamanya adalah keadaan tenaga kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya.
Kondisi
di mana satu ruas jari tengah kanan Anda diamputasi termasuk ke dalam
cacat sebagian untuk selamanya. Atas cacat sebagian tersebut, pekerja
berhak untuk mendapatkan santunan yaitu santunan cacat sebagian (Cacat
Anatomis) untuk selamanya. Santunan cacat sebagian (Cacat Anatomis)
untuk selamanya yaitu santunan yang diberikan kepada tenaga kerja
apabila akibat dari kecelakaan kerja, tenaga kerja mengalami cacat
sebagian di mana bagian dari anggota tubuhnya hilang. Santunan cacat
sebagian dibayar sekaligus dengan besarnya adalah % sesuai tabel x 80 (delapan puluh) bulan upah.
Tabel persentase santunan yang diberikan dapat dilihat dalam tabel lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP Jamsostek”).
Berdasarkan tabel persentase santunan tersebut, jika Anda kehilangan satu jari pada tangan kanan (selain ibu jari dan jari telunjuk), besarnya persentase yang digunakan untuk perhitungan uang santunan adalah 4%. Sedangkan, jika Anda kehilangan ruas pertama jari tangan kanan (selain ibu jari dan jari telunjuk), besarnya persentase yang digunakan untuk perhitungan uang santunan adalah 2%.
Berdasarkan tabel persentase santunan tersebut, jika Anda kehilangan satu jari pada tangan kanan (selain ibu jari dan jari telunjuk), besarnya persentase yang digunakan untuk perhitungan uang santunan adalah 4%. Sedangkan, jika Anda kehilangan ruas pertama jari tangan kanan (selain ibu jari dan jari telunjuk), besarnya persentase yang digunakan untuk perhitungan uang santunan adalah 2%.
Jika
pengusaha memberikan uang santunan sesuai dengan ketentuan di atas,
maka pengusaha telah melakukan kewajibannya kepada tenaga kerja kontrak
yang mengalami kecelakaan kerja tersebut.
Sedangkan,
mengenai hubungan kerja antara Anda dengan perusahaan yang berakhir
dengan selesainya kontrak kerja Anda, tidak ada ketentuan yang dilanggar
oleh perusahaan (kami berasumsi pekerjaan yang Anda lakukan bukanlah
jenis pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh tenaga kerja dengan
kontrak). Ini karena pada dasarnya kontrak atau perjanjian mengikat
kedua belah pihak sebagai undang-undang (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
dan hanya dapat ditarik kembali jika ada kesepakatan kedua belah pihak.
Sehingga jika memang telah diperjanjikan jangka waktu tertentu tanpa
adanya perubahan dalam kontrak kerja dan jangka waktu tersebut berakhir,
maka hal tersebut berlaku sebagaimana telah diperjanjikan dalam kontrak
kerja Anda.
Akan
tetapi, lain halnya jika perusahaan tidak mengikutsertakan Anda pada
program Jamsostek yang mengakibatkan Anda tidak mendapat segala
penggantian biaya, santunan, dan lain-lain terkait kecelakaan kerja yang
Anda alami. Jika pengusaha tidak mengikutsertakan Anda dalam program
Jamsostek, maka berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Jamsostek,
pengusaha dapat diancam dengan sanksi hukuman kurungan selama-lamanya 6
(enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah). Selain itu, juga berdasarkan Pasal 47 huruf a PP Jamsostek,
pengusaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin
usaha, jika pengusaha telah diberikan peringatan tetapi tetap tidak
melaksanakan kewajibannya.
Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikelnya yang berjudul Kewajiban perusahaan mengikuti Jamsostek,
perusahaan tersebut diwajibkan menanggung semua konsekuensi yang
terjadi dan terkait dengan program jaminan sosial tersebut, seperti
konsekuensi bilamana terjadi kecelakaan kerja, kematian dan/atau jaminan
hari tua serta jaminan pelayanan kesehatan (Pasal 8 ayat [1], Pasal 12 ayat [1], Pasal 14 ayat [1] dan Pasal 16 ayat [1] UU Jamsostek).
Walaupun
misalnya perusahaan pada akhirnya membayar hak-hak dan/atau ganti
kerugian kepada Anda sehubungan dengan tidak diikutsertakannya Anda
dalam program Jamsostek, hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab
pidana pengusaha. Ini karena dalam Pasal 189 UU Ketenagakerjaan
dikatakan bahwa sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti
kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. Yang berarti secara a contrario
jika pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian, maka hal
tersebut tidak menghilangkan sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau
denda.
(Sumber Hukumonline)
(Sumber Hukumonline)