Buruhtoday.com - Permohonan pengujian Undang-Undang Ketenaga kerjaan Nomor 13 Tahun 2013 yang diajukan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Surabaya ditolak Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat "dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi" dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa "dengan memperhatikan" telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa "dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan, Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di seluruh wilayah Indonesia.
Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari Dewan Pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder) sebagaimana tercermin dalam komposisi keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha, unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
"Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi dalam permohonan a quo dapat dicegah," tegas Anwar Usman Wakil Ketua MK.
(sumber Suarasurabaya.net)