Jakarta,Buruhtoday.com - Perusahaan baja nasional harus mengurangi karyawan hingga 20-25 %, hal itu dikarenakan anjloknya harga jual baja dunia dimana kenaikan energi, pelemahan rupiah, dan serbuan baja impor yang masif mengakibatkan produsen lokal kalah bersaing dan tidak mampu dengan tingginya biaya produksi sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh tidak dapat terelakkan lagi.
"Bahkan mereka beralih menjadi trader (pedagang). Ini merupakan cerminan kondisi industri baja nasional yang tengah berada dalam kondisi sangat terpuruk. Banyak dari mereka yang berusaha keras untuk survive dengan efisiensi dan cost saving," kata Government Relations Director Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Lucia Karina dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (26/4).
Menurut Lucia, demi bertahan agar tidak bankrut, perusahaan baja nasional dengan sangat terpaksa melakukan PHK para karyawannya. "Untuk perusahaan berskala besar anggota IISIA dan Indonesian Zinc Alumunium Steel Institute (Izasi), banyak yang mem-PHK," kata Sekjen Izasi ini.
Selain PHK, lanjut dia, kondisi ironis lainnya juga dialami oleh anggota IISIA, di mana hampir 50% anggotanya, umumnya perusahaan berskala menengah, berubah menjadi trader. Kondisi ini sayangnnya tidak disadari oleh pemerintah. "Kalau menjadi trader, paling banyak hanya butuh lima karyawan. Tapi kalau menjadi industriawan butuh 100 karyawan," jelas Karina.
Dia mengungkapkan, keterpurukan industri baja nasional disebabkan empat faktor, yakni pertama, anjloknya harga baja internasional. Kedua, kenaikan biaya produksi di Indonesia seperti bahan bakar minyak (BBM), gas, listrik, hingga upah minimum regional (UMR). Ketiga, perlambatan pembangunan konstruksi dan infrastruktur, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan ketidakpastian politik. Keempat, masifnya serbuan baja impor dari Tiongkok dan Vietnam.
Untuk itu, Karina meminta pemerintah turun tangan guna menyelamatkan industri baja nasional. "Jika tidak diselamatkan, PHK di industri baja nasional kemungkinan bisa terus berlanjut, dan menambah penggangguran," ujar dia.
Pemerintah, lanjut Karina, perlu mengambil langkah prioritas untuk penyelamatan industri baja nasional. Pertama, harmonisasi tarif Bea Masuk (BM) yang sinergis dari hulu hingga hilir. "Kalau hulunya saja yang dinaikkan bea masuknya, impor masuk di hilir dalam bentuk barang jadi akan semakin banyak," terang dia.
Menurut Karina, Bea Masuk produk baja impor perlu dinaikkan 10-15% dari tarif BM yang berlaku saat ini di kisaran 0-5%. Kenaikan BM ini diharapkan dapat berlaku bersamaan, mulai dari produk baja hulu hingga hilir.
Langkah penyelamatan Kedua, kata dia, yakni dengan menetapkan industri baja nasional sebagai industri strategis. "Ketiga, pemerintah perlu membantu industri baja nasional dari sisi pemakaian konsumsi energi agar biaya energi bisa ditekan,” tutur Karina. (sumber Beritasatu )