Palangkaraya,Buruhtoday.com - Permasalahan perselisihan hubugan insdutrial antara pekerja dan pengusaha juga sangat tinggi terjadi di provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Hingga bulan July 2015 saja tercata ada sebayak 125 kasus.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalteng Hardy Rampai mengungkapkan, kasus tersebut terkait perselihan hak, kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga mogok kerja.
Dari 125 kasus tersebut, sebanyak 102 kasus diselesaikan dengan cara perjanjian bersama, anjuran 14 kasus, dan masih dalam proses sebanyak 9 kasus.
“125 kasus tersebut dibagi dengan 15 locus (tempat terjadinya pidana, Red) perselisihan maka jumlah kasus kabupaten/kota termasuk provinsi mencapai 8,33 kasus. Dan bila dibagi 7 bulan (Januari-Juli 2015), maka jumlah kasus perbulan adalah 1,19 kasus,” bebernya saat sosialisasi pencegahan perselisihan hubungan industrial di Aquarius Boutique Hotel, Kamis (6/8).
Meski demikian, ia mengakui penyelesaian perselisihan hubungan industrial kerap terbentur kepentingan hubungan kerja seperti pengusaha dan asosiasinya, pekerja dengan organisasi dan juga pemerintah.
“Perselisihan kerap diawali dengan kurangnya kesadaran, perusahaan tak memahami kalau mereka perlu buruh. Buruh juga seharusnya memahami kalau dia kerja dapat upah, dan sebagainya,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi D DPRD Kalteng Jimin menyampaikan, penyelesaian PHI harus mengikuti aturan. Tidak langsung dibawa ke pengadilan. Langkah menjadi terakhir setelah berbagai upaya buntu.
“Sering terjadi akibat hak normative buruh dilanggar. Buruh berontak. Di sini, menang jadi arang dan kalah jadi abu. Jangan langsung ke pengadilan (PHI). Mediasi dulu,” katanya
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalteng Hardy Rampai mengungkapkan, kasus tersebut terkait perselihan hak, kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga mogok kerja.
Dari 125 kasus tersebut, sebanyak 102 kasus diselesaikan dengan cara perjanjian bersama, anjuran 14 kasus, dan masih dalam proses sebanyak 9 kasus.
“125 kasus tersebut dibagi dengan 15 locus (tempat terjadinya pidana, Red) perselisihan maka jumlah kasus kabupaten/kota termasuk provinsi mencapai 8,33 kasus. Dan bila dibagi 7 bulan (Januari-Juli 2015), maka jumlah kasus perbulan adalah 1,19 kasus,” bebernya saat sosialisasi pencegahan perselisihan hubungan industrial di Aquarius Boutique Hotel, Kamis (6/8).
Meski demikian, ia mengakui penyelesaian perselisihan hubungan industrial kerap terbentur kepentingan hubungan kerja seperti pengusaha dan asosiasinya, pekerja dengan organisasi dan juga pemerintah.
“Perselisihan kerap diawali dengan kurangnya kesadaran, perusahaan tak memahami kalau mereka perlu buruh. Buruh juga seharusnya memahami kalau dia kerja dapat upah, dan sebagainya,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi D DPRD Kalteng Jimin menyampaikan, penyelesaian PHI harus mengikuti aturan. Tidak langsung dibawa ke pengadilan. Langkah menjadi terakhir setelah berbagai upaya buntu.
“Sering terjadi akibat hak normative buruh dilanggar. Buruh berontak. Di sini, menang jadi arang dan kalah jadi abu. Jangan langsung ke pengadilan (PHI). Mediasi dulu,” katanya
(sumber Kalteng pos)