Suatu peristiwa yang menarik di penghujung bulan Oktober 2015, Gubernur Alexandria Hani al-Messirial Messiri mengundurkan diri setelah banjir parah yang menewaskan tujuh orang warganya. Menariknya dari berita ini adalah bukan karena banjir atau bukan pula karena adanya korban tujuh orang yang meninggal, tetapi tentang pengunduran diri sang Gubernur akibat banjir yang menewaskan tujuh warganya.
Kejadian itu memang tidak terjadi di Indonesia, melainkan di luar negeri. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, yakni terjadi kekeringan. Meski banyak warga yang mati akibat kekeringan panjang, namun tidak ada satu pejabat pemerintah yang mengundurkan diri.
Bahkan karena kekeringan dan tidak mempunyai bahan makanan di negeri kita ada yang melakukan bunuh diri, toh tidak juga membuat pejabat pemerintah setempat maupun yang ada di pusat bergeming. Apalagi ada yang mau mengundurkan diri sebagai ekpresi dari rasa tanggung jawab yang tidak mampu dilakukannya.
Begitu juga dengan bencana kabut asap. Pemerintah Indonesia pun meski sudah berlarut-larut dan membuat lebih sejagat hingga sejumlah negara tetangga uring-uringan toh tidak ada satu pun yang menyatakan bertanggung jawab. Apalagi mau mengundurkan diri atas kelalaian dan pengabaian terhadap bencana asap akibat pembakaran lahan dan hutan. Yang terjadi memang terkesan sebaliknya, semua meyakinkan telah mengambil kesempatan dalam kesempitan bencana itu, kalau tidak bisa dikatakan menampilkan diri agar dianggap sebagai pahlawan.
Sikap Presiden Jokowi tanpa Jusuf Kalla terkesan mundur-maju, mengesankan adanya keraguan. Mulanya sangat jumawa menolak tawaran bantuan dari sejumlah negara tetangga yang merasa tidak cuma ikut bertanggung jawab, tetapi juga memiliki kepentingan untuk memadamkan bencana asap yang sudah menelan banyak korban dan kerugian. Padahal, apa yang dialami dan dihadapi oleh pemerintah daerah Alexandria di Mesir itu murni bencana alam.
Beberapa jam sebelum pengunduran dirinya, Gubernur Alexandria Messiri menyebut kondisi yang terjadi di Alexandria sebagai "bencana alam", seperti dilaporkan situs al-Ahram Arabic. Padahal, para aktivis yang ikut mendesak kemunduran Messiri cuma disampaikan melalui media sosial. Sedang di Indonesia meski gelombang aksi dan unjuk rasa sudah berulang-ulang dilakukan toh sampai tulisan ini diturunkan belum ada catatan pejabat pemerintah apalagi pejabat negara yang berani menyatakan paling bertanggung jawab dan mau mengundurkan diri seperti apa yang dilakukan Messiri.
Masalahnya Messiri dianggap telah gagal memperbaiki sistem drainase kota Alexandria yang memang sudah tua, karena memang sudah ratusan tahun usianya. Jadi berbeda dengan di Indonesia, hutan gambut yang terbakar itu baru saja masuk dalam program pengolahan tahun kemarin. Setidaknya pada periode kepemimpinan rezim Orde baru, namun sudah menimbulkan masalah bagi warga bangsa bukan hanya sebatas masyarakat setempat saja dipaksa dan terpaksa menikmati udara yang tidak sehat.
Media yang merilis pengunduran Messiri juga memberitakan kondisi kora Alexandria terendam banjir karena diguyur hujan lebat pada Minggu pagi ( 27 Oktober 2014). Artinya, pengunduran diri Messiri dilakukan secara spontan tidak berlama-lama seperti menunggu gelombang aksi dan unjukrasa yang terjadi di Indonesia. Dan kesadaran dan pengakuan atas rasa bersalah bagi pejabat asing semacam Messiri itu sungguh mengagumkan dan lebih terhormat.
Masalahnya, mungkinkah budaya malu dan rasa bertanggung jawab semacam apa yang dialami dan dilakoni Messiri itu akan terjadi juga di Indonesia ? Atau, semacam kesigapan Presiden Abdel-Fattah el-Sissi yang langsung mengadakan rapat darurat bersama kabinetnya pada keesokan harinya untuk membahas banjir yang terjadi di Alexandria.
Gambaran sikap tanggap pemerintah yang dikendlikan oleh Presiden Abdel Fatah el-Sisi dengan meminta seluruh jajaran kabinet yang dipimpinnya untuk segera memberikan bantuan kepada warga yang terkena dampak banjir, seakan menjadi mimpi bagi rakyat Indonesia yang ada di Kalimantan dan Sumatra serta daerah sekitarnya untuk memperoleh bantuan nyata dari kebijakan Presiden Jokowi, karena sampai hari ini bentuk panitia ini dan panitia itu atau sejenisnya baru dipersiapkan, sementara korban sudah bergelimpangan termasuk orang utan yang lebih tidak berdaya dibanding manusia di sekelilingnya.
Presiden Messiri langsung menjanjikan pemberian kompensasi kepada masyarakat yang kehilangan anggota keluarga mereka dalam bencana banjir ini. Banjir yang telah memicu kemarahan masyarakat yang menganggap bahwa pemerintahan militer Sissi telah gagal, hanya karena pemerintah tidak melakukan persiapan yang cukup untuk menyambut musim penghujan dan masih banyak masalah lainnya yang belum tertangani meski telah terjadi berulang-ulang selama beberapa tahun.
Kejadian serupa di Alexandria itu persis sama seperti yang terjadi di negeri kita modelnya. Karena sudah terjadi berulang-ulang. Lalu mengapa pemerintah tidak segera mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan misalnya dengan mengantisipasinya membuat sumur di lahan dan hutan itu untuk dijadikan sumber air guna memadamkan api yang mebara manakala terjadi kebakaran ?
Demikian juga musim kemarau yang menghajar lahan pertanian dan sawah para petani di Indonesia, bisa diantisipasi dengan menyediakan sejumlah sumber air dalam bentuk sumur yang dapat digunakan sewaktu-waktu ketika air sangat dibutuhkan. Pemerintah bisa memfasilitasi juga sumber air dari sumur yang dibuat di lahan pertanian dan perkebunan maupun hutan serta lahan gambut itu dengan generator pembangit listrik siap pakai kapanpun diperlukan.
Sikap tanggap darurat seperti ini dapat juga dilakukan bersama Anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang dapat dicadangkan tenaganya untuk itu, namun tetap harus memperoleh penghargaan yang layak, tidak dikaryakan begitu saja secara gratisan. Sebab anggota TNI yang mau bekerja secara suka rela itu harus dipahami tidak secara khusus dipersiapkan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat darurat seperti itu. ***