ILustrasi(Net). |
Akibat diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang jelas-jelas merugikan kaum buruh, sejumlah serikat buruh merasa perlu terus melakukan aksi dan unjuk rasa secara massif di berbagai daerah dan kawasan industri guna mengetuk hati pemerintah dan pengusaha yang membatu, tidak mau kompromi. Cara melakukan legalisasi PP No. 78 Tahun 2015 itu berlangsung tidak jujur dan tidak terbuka, karena tidak melibatkan semua serikat buruh dan wakil buruh.
Akibatnya pun jadi berkepanjangan, sehinhgga semakin mengaburkan tugas utama Menakertrans atau aparat pemerintah yang seharusnya mengurus dengan baut dan transparan masalah buruh dan perburuhan di Indonesia agar lebih baik dan manusiawi. Tetapi yang terjadi, Menakertrans Hanif Dhakiri nyaris tidak berbeda dengan pejabat sebelumnya, tidak hendak melaksanakan amanah yang diemban untuk menjaga dan mendukung serta meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, khusunya bagi Kemenaker adalah kewajiban untuk memberi perhatian sepenuhnya bagi kaum buruh Indonesia.
Yang terjadi kemudian akibat PP Pengupahan yang diberlakukan secara paksa itu. Menaker pun tampak semakin sibuk, seakan-akan hanya itulah pekerjaan yang harus dilakukannya. Masalah angkatan kerja yang terus bertumbuh, jumlah pengangguran yang semakin meningkat dan kericuhan masalah pemutusan hubungan kerja terus berlangsung dimana-mana jadi luput dari perhatian yang harus dan wajib diatasi Kemenaker dan jajaran serta semua instansi turunannya.
Contohnya masalah upah buruh yang berlaku sebelumnya dikaitkan dengan PP No. 78 Tahun 2015 membuat Menaker semakin sibuk untuk meyakinkan bahwa itu semua lebih menguntungkan kaum buruh. Meski kaum buruhnya sendiri sudah menyatakan dan melakukan beragam aksi serta unjuk rasa menolak keputusan yang dipaksakan itu, seperti membandingkan tingkat kenaikan upah minimum di daerah katanya relatif kecil hanya berkisar antara antara 6-9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11,5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan selisih antara kenaikan upah buruh Indonesia pada kisaran 11.5 persen itu yang diusung oleh PP No. 78 Tahun 2015 dibanding dengan tingkat nilai upah yang berlaku sebelumnya, maka logikanya bagi Hanif Dhakiri kaum buruh Indonesia lebih diuntungkan. Karena faktanya, dari semua provinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11,5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS baru diberlakukan di 13 Provinsi, sementara 15 Provinsi lainnya masih menggunakan nilai upah lama. (SBSInews.Com, 26 Novvember 2015).
Karena itu Hanif Dhakiri mengatakan, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh Indonesia untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh. Logika Menaker ini jelas keliru, karena Menaker hanya melihat dengan membandingkan nilai upah sebelumnya dengan tingkat nilai upah yang akan diberlakukan kemudian. Padahal, nilai upah yang menjadi masalah bagi kaum buruh Indonesia sekarang adalah kenaikan tingkat nilai upah yang diberlakukan itu belum sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Logika yang Menaker yang semakin menyesatkan itu klaimnya atas kenaikan tingkat upah yang mengacu pada PP No. 78 Tahun 2015 itu dikatakannya bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga menguntungkan mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha. Jika tingkat kenaikan upah yang hendak diberlakukan itu sangat menguntungkan pengusaha memang cukup jelas, karena memang sudah begitu pakem-nya selama ini bahwa pemerintah selalu berpihak pada pengusaha. Seakan-akan hanya dengan demikian dunia usaha akan tetap langgeng, terus meningkat dan berjalan lancar. Sementara para buruh selalu dirugikan. Setidaknya, fenomena mogok nasional menunjukkan tidak terpenuhinya keinginan kaum buruh.
Logika sederhana kaum huruh terhadap tingkat kenaikan upah yang harus diperbaharui setiap tahun, bukan hanya untuk disesuaikan dengan tingkat kenaikan harga barang, inflasi serta terus naiknya tingkat kemahalan kebutuhan pokok, tetapi juga diharap dapat melakukan peningkatan perbaikan standar hidup dibanding waktu sebelumnya. Jika tidak, maka selamanya tingkat kesejahteraan kaum buruh Indonesia akan selalu tertinggal dalam segela hal, termasuk keinginan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja yang erat kaitannya dengan kualitas dan kuantitas produksi sebagaimana yang diharapkan pengusaha.
Jumlah pengangguran Indonesia sebanyak 7,5 orang dalam logika kaum buruh adalah merupakan kewajiban tugas pokok sebagaimana yang diamantkan oleh UUD 1945 untuk diatasi dan diurus oleh pemerintah. Karena kewajiban dan tugas pokok serupa itulah yang selama ini diabaikan pemerintah, tidak memberi perhatian terhadap apa yang menjadi masalah penghambat untuk berkembangnya dunia usaha dan teratasinya masalah lapangan kerja dan pengangguran yang ada.
Kalau pun dalam PP No. 78 Tahun 2015 itu mengatur juga masalah non-upah seperti bonus, THR, uangservice dan lain-lain yang menjadi hak buruh, sesungguhnya masalah aturan non-upah itu bukan baru ada sekarang. Sejak dahulu saja semua itu sudah ada harus dan wajib dilakukan oleh pihak pengusaha. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pihak pemerintah pun dominan lalai melakukan kontrol dan pengawasan serta nyaris tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pengusaha yang degil atau membangkang untuk tidak melaksanakannya.
Indikator pengawasan pemerintah yang melakukan tugas dan kewajibannya, itulah sebabnya saat menjelang Hari Raya dan Tahun Baru serta Perayaan Natal, keributan dalam masalah pemberian tunjuang untuk merayakan hari besar keagamaan itu selalu ribut dan seperti keharusan bagi kaum buruh agar melakukan aksi dan unjuk rasa terlebih dahulu. Sudah begitu pun, tidak juga bisa dipastikan pihak pengusaha yang di demenstrasi kaum buruh akibat kebandelannya itu mau memberikan hak-hak yang seharusnya kaum buruh terima.
Celakanya, pihak pemerintah khususnya petugas dari Kemenaker, Disnaker dan aparat terkait maupun yang tidak terkait justru cenderung berpihak pada pengusaha. Logikanya, gampang dipahami, karena pengusaha mau mengeluarkan dana ekstra bagi semua pihak yang dilibatkan atau sekedar melibatkan diri untuk menghadang aksi dan unjuk rasa kaum buruh yang sebenarnya meminta hak-hak yang sepatutnya harus diterima.
Mengerikan, Hanif Dhakiri mengatakan juga keuntungan bagi kaum buruh dengan berlakunya PP N0. 78 Tahun 2015 itu karena memuat juga aturan bagi kaum buruh yang berhalangan, baik karena sakit atau menjalankan tugas serikat pekerja, juga wajib dibayar. Aturan serupa ini sesungguhnya sudah ada jauh sebelum Hanif Dhakiri menjabat Kemenakertran. Hanya saja pelaksanaan dan realisasinya yang tidak pernah secara konsisten dilakukan. Semua masih cenderung ditanggapi pihak pengusaha dengan seenaknya sendiri.
Misalnya bagi buruh yang melakukan aksi dan unjuk rasa memprotes kebijakan atau peraturan yang diberlakukan semena-mena oleh pihak perusahaan dimana kaum buruh itu sendiri bekerja, maka pihak pengusaha biasa akan melakukan penekanan juga dengan cara melakukan pembangkangan untuk membayar semua buruh yang mangkir karena melakukan aksi dan unjuk rasa itu.
Nah, harusnya yang dilakukan Pemerintah khususnya Kemenakertran serta turunannya yang ada di daerah serta aparat keamanan yang mau dipakai guna menghadang atau bahkan menghajar kaum buruh yang memperjuangkan hak-hak itu, seharusnya yang diatur atau dihilangkan pemberlakuannya, sehingga tidak sampai menggradasi wibawa dan harga diri masing-masing aparat dari berbagai instansi itu, hanya karena ingin memperoleh dana ekstra yang diberi pihak pengusaha.***
Akibatnya pun jadi berkepanjangan, sehinhgga semakin mengaburkan tugas utama Menakertrans atau aparat pemerintah yang seharusnya mengurus dengan baut dan transparan masalah buruh dan perburuhan di Indonesia agar lebih baik dan manusiawi. Tetapi yang terjadi, Menakertrans Hanif Dhakiri nyaris tidak berbeda dengan pejabat sebelumnya, tidak hendak melaksanakan amanah yang diemban untuk menjaga dan mendukung serta meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, khusunya bagi Kemenaker adalah kewajiban untuk memberi perhatian sepenuhnya bagi kaum buruh Indonesia.
Yang terjadi kemudian akibat PP Pengupahan yang diberlakukan secara paksa itu. Menaker pun tampak semakin sibuk, seakan-akan hanya itulah pekerjaan yang harus dilakukannya. Masalah angkatan kerja yang terus bertumbuh, jumlah pengangguran yang semakin meningkat dan kericuhan masalah pemutusan hubungan kerja terus berlangsung dimana-mana jadi luput dari perhatian yang harus dan wajib diatasi Kemenaker dan jajaran serta semua instansi turunannya.
Contohnya masalah upah buruh yang berlaku sebelumnya dikaitkan dengan PP No. 78 Tahun 2015 membuat Menaker semakin sibuk untuk meyakinkan bahwa itu semua lebih menguntungkan kaum buruh. Meski kaum buruhnya sendiri sudah menyatakan dan melakukan beragam aksi serta unjuk rasa menolak keputusan yang dipaksakan itu, seperti membandingkan tingkat kenaikan upah minimum di daerah katanya relatif kecil hanya berkisar antara antara 6-9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11,5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan selisih antara kenaikan upah buruh Indonesia pada kisaran 11.5 persen itu yang diusung oleh PP No. 78 Tahun 2015 dibanding dengan tingkat nilai upah yang berlaku sebelumnya, maka logikanya bagi Hanif Dhakiri kaum buruh Indonesia lebih diuntungkan. Karena faktanya, dari semua provinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11,5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS baru diberlakukan di 13 Provinsi, sementara 15 Provinsi lainnya masih menggunakan nilai upah lama. (SBSInews.Com, 26 Novvember 2015).
Karena itu Hanif Dhakiri mengatakan, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh Indonesia untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh. Logika Menaker ini jelas keliru, karena Menaker hanya melihat dengan membandingkan nilai upah sebelumnya dengan tingkat nilai upah yang akan diberlakukan kemudian. Padahal, nilai upah yang menjadi masalah bagi kaum buruh Indonesia sekarang adalah kenaikan tingkat nilai upah yang diberlakukan itu belum sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Logika yang Menaker yang semakin menyesatkan itu klaimnya atas kenaikan tingkat upah yang mengacu pada PP No. 78 Tahun 2015 itu dikatakannya bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga menguntungkan mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha. Jika tingkat kenaikan upah yang hendak diberlakukan itu sangat menguntungkan pengusaha memang cukup jelas, karena memang sudah begitu pakem-nya selama ini bahwa pemerintah selalu berpihak pada pengusaha. Seakan-akan hanya dengan demikian dunia usaha akan tetap langgeng, terus meningkat dan berjalan lancar. Sementara para buruh selalu dirugikan. Setidaknya, fenomena mogok nasional menunjukkan tidak terpenuhinya keinginan kaum buruh.
Logika sederhana kaum huruh terhadap tingkat kenaikan upah yang harus diperbaharui setiap tahun, bukan hanya untuk disesuaikan dengan tingkat kenaikan harga barang, inflasi serta terus naiknya tingkat kemahalan kebutuhan pokok, tetapi juga diharap dapat melakukan peningkatan perbaikan standar hidup dibanding waktu sebelumnya. Jika tidak, maka selamanya tingkat kesejahteraan kaum buruh Indonesia akan selalu tertinggal dalam segela hal, termasuk keinginan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja yang erat kaitannya dengan kualitas dan kuantitas produksi sebagaimana yang diharapkan pengusaha.
Jumlah pengangguran Indonesia sebanyak 7,5 orang dalam logika kaum buruh adalah merupakan kewajiban tugas pokok sebagaimana yang diamantkan oleh UUD 1945 untuk diatasi dan diurus oleh pemerintah. Karena kewajiban dan tugas pokok serupa itulah yang selama ini diabaikan pemerintah, tidak memberi perhatian terhadap apa yang menjadi masalah penghambat untuk berkembangnya dunia usaha dan teratasinya masalah lapangan kerja dan pengangguran yang ada.
Kalau pun dalam PP No. 78 Tahun 2015 itu mengatur juga masalah non-upah seperti bonus, THR, uangservice dan lain-lain yang menjadi hak buruh, sesungguhnya masalah aturan non-upah itu bukan baru ada sekarang. Sejak dahulu saja semua itu sudah ada harus dan wajib dilakukan oleh pihak pengusaha. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pihak pemerintah pun dominan lalai melakukan kontrol dan pengawasan serta nyaris tidak bisa melakukan apa-apa terhadap pengusaha yang degil atau membangkang untuk tidak melaksanakannya.
Indikator pengawasan pemerintah yang melakukan tugas dan kewajibannya, itulah sebabnya saat menjelang Hari Raya dan Tahun Baru serta Perayaan Natal, keributan dalam masalah pemberian tunjuang untuk merayakan hari besar keagamaan itu selalu ribut dan seperti keharusan bagi kaum buruh agar melakukan aksi dan unjuk rasa terlebih dahulu. Sudah begitu pun, tidak juga bisa dipastikan pihak pengusaha yang di demenstrasi kaum buruh akibat kebandelannya itu mau memberikan hak-hak yang seharusnya kaum buruh terima.
Celakanya, pihak pemerintah khususnya petugas dari Kemenaker, Disnaker dan aparat terkait maupun yang tidak terkait justru cenderung berpihak pada pengusaha. Logikanya, gampang dipahami, karena pengusaha mau mengeluarkan dana ekstra bagi semua pihak yang dilibatkan atau sekedar melibatkan diri untuk menghadang aksi dan unjuk rasa kaum buruh yang sebenarnya meminta hak-hak yang sepatutnya harus diterima.
Mengerikan, Hanif Dhakiri mengatakan juga keuntungan bagi kaum buruh dengan berlakunya PP N0. 78 Tahun 2015 itu karena memuat juga aturan bagi kaum buruh yang berhalangan, baik karena sakit atau menjalankan tugas serikat pekerja, juga wajib dibayar. Aturan serupa ini sesungguhnya sudah ada jauh sebelum Hanif Dhakiri menjabat Kemenakertran. Hanya saja pelaksanaan dan realisasinya yang tidak pernah secara konsisten dilakukan. Semua masih cenderung ditanggapi pihak pengusaha dengan seenaknya sendiri.
Misalnya bagi buruh yang melakukan aksi dan unjuk rasa memprotes kebijakan atau peraturan yang diberlakukan semena-mena oleh pihak perusahaan dimana kaum buruh itu sendiri bekerja, maka pihak pengusaha biasa akan melakukan penekanan juga dengan cara melakukan pembangkangan untuk membayar semua buruh yang mangkir karena melakukan aksi dan unjuk rasa itu.
Nah, harusnya yang dilakukan Pemerintah khususnya Kemenakertran serta turunannya yang ada di daerah serta aparat keamanan yang mau dipakai guna menghadang atau bahkan menghajar kaum buruh yang memperjuangkan hak-hak itu, seharusnya yang diatur atau dihilangkan pemberlakuannya, sehingga tidak sampai menggradasi wibawa dan harga diri masing-masing aparat dari berbagai instansi itu, hanya karena ingin memperoleh dana ekstra yang diberi pihak pengusaha.***
Penulis : Gusti Ratu Saijah Dibumi & En Jacob Ereste