Ketua Komisi IX DPR,Dede Yusuf. (int). |
Jakarta,Buruhtoday.com - Organinsasi Serikat Pekerja Indonesia(Opsi) menilai Komisi IX DPR RI dan Pemerintah gagal dalam menjalankan tugas legislasinya. Pasalnya, revisi Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) hingga ahir Desember 2015 belum selesai.
Sekjen Organisasi Serikat Pekerja Indonesia(Opsi) Timboel Siregar mengatakan, pastinya revisi UU 2/2004 yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas atas inisiatif DPR tersebut tidak selesai sampai saat ini.
“Ini merupakan salah satu kegagalan Komisi IX DPR dalam menjalankan tugas legislasinya,” kata Timboel, Minggu (27/12) malam.
Timboel menegaskan, Komisi IX DPR tidak serius merevisi UU 2 / 2004. Padahal revisi UU tersebut sangat dinantikan kalangan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) dan para pekerja umumnya. Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI) dalam implementasinya tidak cepat, tidak adil dan tidak murah.
Timboel menegaskan, Komisi IX DPR tidak serius merevisi UU 2 / 2004. Padahal revisi UU tersebut sangat dinantikan kalangan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) dan para pekerja umumnya. Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI) dalam implementasinya tidak cepat, tidak adil dan tidak murah.
“Proses penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa memakan waktu 3-4 tahun sampai proses peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA),” tegasnya.
Timboel juga mengatakan lagi bahwa proses PHI yang ada di UU 2/2004 relatif mahal. Proses bersidang berkali-kali, bisa mencapai 10 kali sidang di PHI.
“Ini sangat menyusahkan kalangan pekerja. Komisi IX sangat lambat menjalankan tugas legislasi tersebut,” kata dia.
Timboel menjelaskan, Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, sempat mau mengganti revisi UU 2/2004 ini dengan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT), walaupun paripurna DPR sudah menentukan prolegnas prioritas di 2015 ini yaitu revisi UU 2/2004 dan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Tentunya di 2016 paripurna DPR akan menentukan kembali prolegnas prioritas untuk seluruh komisi termasuk komisi IX.
Timboel menjelaskan, Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, sempat mau mengganti revisi UU 2/2004 ini dengan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT), walaupun paripurna DPR sudah menentukan prolegnas prioritas di 2015 ini yaitu revisi UU 2/2004 dan UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Tentunya di 2016 paripurna DPR akan menentukan kembali prolegnas prioritas untuk seluruh komisi termasuk komisi IX.
“Dari informasi yang saya terima, Komisi IX tidak lagi memasukkan UU 2/2004 sebagai prolegnas prioritas 2016,” ujarnya.
Ini artinya, lanjut Timboel, pekerja dan buruh akan tetap mengalami kesulitan dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama di PHI dan MA.
Ini artinya, lanjut Timboel, pekerja dan buruh akan tetap mengalami kesulitan dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama di PHI dan MA.
“Untuk itu kami mendesak Komisi IX DPR untuk tetap memasukkan revisi UU 2/2004 di prolegnas prioritas tahun 2016. Proses revisi sebaiknya difokuskan pada pembuatan hukum acara yang cepat, tepat, adil dan murah hingga hukum acara proses eksekusi. Proses di PHI bisa diselesaikan hanya 3-4 kali sidang saja,” pungkasnya.
Menurut Timboel lagi, Upaya hukum atas putusan PHI tidak lagi ke MA. Kalau upaya hukum naik ke MA maka akan dipastikan asas cepat akan sulit dilaksanakan. Bahwa sumber masalah lamanya proses penyelesaian HI ada di MA. Dan ia juga meminta agar hukum acara penyelesaian perselisihan HI ke depannya tidak sampai MA.
Menurut Timboel lagi, Upaya hukum atas putusan PHI tidak lagi ke MA. Kalau upaya hukum naik ke MA maka akan dipastikan asas cepat akan sulit dilaksanakan. Bahwa sumber masalah lamanya proses penyelesaian HI ada di MA. Dan ia juga meminta agar hukum acara penyelesaian perselisihan HI ke depannya tidak sampai MA.
“Alternatif lainnya, upaya hukum atas putusan PHI diserahkan ke pengadilan tinggi masing-masing provinsi. Jadi tiap pengadilan tinggi akan memiliki hakim adhoc juga." tegasnya.
Dengan diserahkannya upaya hukum atas putusan PHI ke masing-masing daerah maka proses penyelesaian HI akan bisa cepat, tidak perlu lagi tersentralisasi ke MA.
Dengan diserahkannya upaya hukum atas putusan PHI ke masing-masing daerah maka proses penyelesaian HI akan bisa cepat, tidak perlu lagi tersentralisasi ke MA.
“Faktanya kasus-kasus yang ada di MA saat ini sangat banyak karena berasal dari seluruh Indonesia sehingga hakim agung karier yang menangani kasus hubungan industrial juga sibuk menangani kasus lainnya,” tutupnya. (Sumber beritasatu.com).