Jakarta - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengalami gamang, jika rencana pemerintah memungut cukai plastik untuk kemasan disahkan. Pasalnya ratusan ribu buruh yang dipekerjakan terancam di PHK.
Sekretaris Jenderal Gapmmi Titiek Sadarini mengatakan, bagi pengusaha pada dasarnya keuntungan menjadi hal utama. Jika memang nantinya cukai plastik kemasan tetap digulirkan, maka pengusaha makanan dan minuman (mamin) akan membebankannya kepada konsumen dengan menaikkan harga produk yang dijual.
"Kalau konsumen enggak bisa, akhirnya produksi turun dan akan lakukan efisiensi. Kalau tenaga kerja ini nanti misalnya dikenakan terus kita PHK, siapa yang akan nanggung?" katanya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (11/5/2016).
Titiek menegaskan, pemerintah jangan membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di Tanah Air. Apalagi, saat ini Indonesia sudah memasuki era persaingan bebas dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Kalau kebijakan dipaksakan tanpa perhitungan matang, apa kita enggak bunuh diri dengan market yang sudah sangat terbuka ini. Industri intinya terbuka untuk dialog, tapi berdasarkan fakta dan tidak berdasarkan asumsi. Sehingga tidak membebani," imbuh dia.
Juru Bicara Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPP) Rachmat Hidayat menambahkan, pengenaan cukai ini justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Terlebih, kontribusi industri mamin cukup besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
Sementara, setiap 1% pertumbuhan ekonomi sedianya mampu menyerap tenaga kerja 170 ribu orang. Artinya, jika terjadi perlambatan ekonomi 1% saja, maka akan ada 170 ribu tenaga kerja yang terancam di PHK.
"Lihat aja cukai ini akan jadikan perlambatan berapa? Apa 0,5% atau 1%. Jadi, itu hitungan matematikanya. Industri makanan dan minuman itu punya multiplier empat kali lipat untuk tenaga kerja. Jadi, satu pabrik tutup akan kehilangan empat kali lipat naker juga. Itu yang jangan sampai terjadi," pungka Rachmat.
sumber Sindonews.com
Sekretaris Jenderal Gapmmi Titiek Sadarini mengatakan, bagi pengusaha pada dasarnya keuntungan menjadi hal utama. Jika memang nantinya cukai plastik kemasan tetap digulirkan, maka pengusaha makanan dan minuman (mamin) akan membebankannya kepada konsumen dengan menaikkan harga produk yang dijual.
"Kalau konsumen enggak bisa, akhirnya produksi turun dan akan lakukan efisiensi. Kalau tenaga kerja ini nanti misalnya dikenakan terus kita PHK, siapa yang akan nanggung?" katanya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (11/5/2016).
Titiek menegaskan, pemerintah jangan membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di Tanah Air. Apalagi, saat ini Indonesia sudah memasuki era persaingan bebas dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Kalau kebijakan dipaksakan tanpa perhitungan matang, apa kita enggak bunuh diri dengan market yang sudah sangat terbuka ini. Industri intinya terbuka untuk dialog, tapi berdasarkan fakta dan tidak berdasarkan asumsi. Sehingga tidak membebani," imbuh dia.
Juru Bicara Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPP) Rachmat Hidayat menambahkan, pengenaan cukai ini justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Terlebih, kontribusi industri mamin cukup besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Tanah Air.
Sementara, setiap 1% pertumbuhan ekonomi sedianya mampu menyerap tenaga kerja 170 ribu orang. Artinya, jika terjadi perlambatan ekonomi 1% saja, maka akan ada 170 ribu tenaga kerja yang terancam di PHK.
"Lihat aja cukai ini akan jadikan perlambatan berapa? Apa 0,5% atau 1%. Jadi, itu hitungan matematikanya. Industri makanan dan minuman itu punya multiplier empat kali lipat untuk tenaga kerja. Jadi, satu pabrik tutup akan kehilangan empat kali lipat naker juga. Itu yang jangan sampai terjadi," pungka Rachmat.
sumber Sindonews.com