JAKARTA - Komisaris Urusan Hak Asasi manusia (HAM) PBB Zeid Ra'ad al Hussein menyerukan Indonesia untuk segera memberlakukan moratorium hukuman mati yang dicabut kembali tahun 2013. Alasannya, pengadilan sering melakukan kesalahan dalam penyelidikan ketika menjatuhkan vonis mati. Apalagi kasus korupsi di lembaga peradilan dan aparat keamanan cukup tinggi.
Merri Utami ditangkap tahun 2001 dengan 1,1 kg heroin yang disembunyikan di jahitan dalam kopernya. Tahun 2003 dia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penyelundupan heroin.
Menurut Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Perempuan, Merri Utami mulanya pergi ke Taiwan untuk bekerja sebagai pembantu. Dia meninggalkan Indonesia karena diperlakukan dengan kasar oleh suaminya dan akhirnya mereka bercerai.
Merri Utami lalu bertemu dengan seorang warga Kanada. Mereka lalu pergi ke Nepal. Bulan Oktober 2001, Merri Utami bertemu dengan teman warga Kanada itu dan ditipkan tas tangan untuk dibawa ke Jakarta. Tas itu dikatakan sebagai sampel atau contoh untuk dijual di Indonesia.
Saat mendarat di Jakarta, petugas memeriksa tas yang dibawanya dan ternyata ditemukan heroin seberat 1,1 Kg. Merri mengaku tidak tahu, apa isi koper titipan itu. Selama pemeriksaan polisi, dia juga mengaku mengalami pelecehan seksual dan percobaan pemerkosaan.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengaku sudah menyurati Presiden Joko Widodo terkait kasus itu. "Yang kami harapkan, Presiden menunda hukuman mati terhadap MU," kata Azriana.
Kelompok-kelompok HAM membandingkan kasus Merri Utami dengan pembantu rumah tangga asalh Filipina Mary Jane Veloso. Tahun lalu, Mary Jane sudah siap menghadapi regu tembak di Nusakambangan. Kemudian pada menit-menit terakhir eksekusinya ditunda, menyusul permintaan dari pemerintah Filipina.
Ada seorang perempuan di Filipina, yang mengaku kepada polisi Filipina, bahwa dialah yang menaruh narkotika di koper yang ditipkan kepada Mary Jane. Eksekusi Mary Jane Veloso sekarang ditunda, sampai proses pengadilannya di Filipina rampung.
Buruh migran perempuan memang jadi target jebakan sindikat narkotika, karena mereka biasanya berasal dari kalangan miskin dengan pendidikan terbatas, kata kalangan aktivis perempuan dan HAM.
"Ini sudah jadi pola dan modus operandi mereka yang selalu sama," kata Azriana. Komnas Perempuan telah melakukan penelitian kasus 16 perempuan Indonesia yang dijatuhi hukuman mati atas kejahatan narkoba di dalam dan luar negeri.
Migrante International, kelompok pekerja migran di Filipina yang memimpin kampanye untuk menghentikan eksekusi Mary Jane Veloso mengatakan, ada banyak kasus seperti Mary Jane dan Merri.
"Pemerintah harus mempertimbangkan bahwan buruh migran itu adalah orang yang menjadi korban perdagangan narkoba. Mereka tertipu dan digunakan jadim kurir - akhirnya mereka yang dihukum karena kejahatan itu," kata Mic Catuira, Wakil Sekretaris Jenderal Migrante International kepada kantor berita Reuters.
Indonesia dan Filipina adalah dua pemasok utama buruh migran di Asia, dengan sekitar 8,5 juta pekerja. Ada 205 orang Indonesia dan 94 pekerja migran Filipina yang terancam hukuman mati di luar negeri, demikian keterangan Komnas Peremuan dan Migrante International.
Merri Utami ditangkap tahun 2001 dengan 1,1 kg heroin yang disembunyikan di jahitan dalam kopernya. Tahun 2003 dia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penyelundupan heroin.
Menurut Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Perempuan, Merri Utami mulanya pergi ke Taiwan untuk bekerja sebagai pembantu. Dia meninggalkan Indonesia karena diperlakukan dengan kasar oleh suaminya dan akhirnya mereka bercerai.
Merri Utami lalu bertemu dengan seorang warga Kanada. Mereka lalu pergi ke Nepal. Bulan Oktober 2001, Merri Utami bertemu dengan teman warga Kanada itu dan ditipkan tas tangan untuk dibawa ke Jakarta. Tas itu dikatakan sebagai sampel atau contoh untuk dijual di Indonesia.
Saat mendarat di Jakarta, petugas memeriksa tas yang dibawanya dan ternyata ditemukan heroin seberat 1,1 Kg. Merri mengaku tidak tahu, apa isi koper titipan itu. Selama pemeriksaan polisi, dia juga mengaku mengalami pelecehan seksual dan percobaan pemerkosaan.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengaku sudah menyurati Presiden Joko Widodo terkait kasus itu. "Yang kami harapkan, Presiden menunda hukuman mati terhadap MU," kata Azriana.
Kelompok-kelompok HAM membandingkan kasus Merri Utami dengan pembantu rumah tangga asalh Filipina Mary Jane Veloso. Tahun lalu, Mary Jane sudah siap menghadapi regu tembak di Nusakambangan. Kemudian pada menit-menit terakhir eksekusinya ditunda, menyusul permintaan dari pemerintah Filipina.
Ada seorang perempuan di Filipina, yang mengaku kepada polisi Filipina, bahwa dialah yang menaruh narkotika di koper yang ditipkan kepada Mary Jane. Eksekusi Mary Jane Veloso sekarang ditunda, sampai proses pengadilannya di Filipina rampung.
Buruh migran perempuan memang jadi target jebakan sindikat narkotika, karena mereka biasanya berasal dari kalangan miskin dengan pendidikan terbatas, kata kalangan aktivis perempuan dan HAM.
"Ini sudah jadi pola dan modus operandi mereka yang selalu sama," kata Azriana. Komnas Perempuan telah melakukan penelitian kasus 16 perempuan Indonesia yang dijatuhi hukuman mati atas kejahatan narkoba di dalam dan luar negeri.
Migrante International, kelompok pekerja migran di Filipina yang memimpin kampanye untuk menghentikan eksekusi Mary Jane Veloso mengatakan, ada banyak kasus seperti Mary Jane dan Merri.
"Pemerintah harus mempertimbangkan bahwan buruh migran itu adalah orang yang menjadi korban perdagangan narkoba. Mereka tertipu dan digunakan jadim kurir - akhirnya mereka yang dihukum karena kejahatan itu," kata Mic Catuira, Wakil Sekretaris Jenderal Migrante International kepada kantor berita Reuters.
Indonesia dan Filipina adalah dua pemasok utama buruh migran di Asia, dengan sekitar 8,5 juta pekerja. Ada 205 orang Indonesia dan 94 pekerja migran Filipina yang terancam hukuman mati di luar negeri, demikian keterangan Komnas Peremuan dan Migrante International.
Sumber : Deutsche Welle