JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh 30 provinsi dan 150 kota/kabupaten pada tanggal 29 September 2016 mendatang.
Dalam aksi tersebut kata Iqbal, serikat buruh menuntut agar Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak (tax amnesty) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan segera di cabut.
"Kami menolak upah murah, juga naikkan upah minimum 2017 sebesar Rp 650 ribu," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (21/9/2016).
Ia menjelaskan, aksi di Jakarta akan dipusatkan di Mahkamah Konstitusi, Istana, Mahkamah Agung, serta kantor Komisi Pemberantasan Komisi (KPK). Sedangkan titik kumpulnya akan dipusatkan di Balai Kota Jakarta. "Ini akan diikuti hampir 10 ribu buruh se-Jabodetabek," kata dia.
Terkait dengan tax amnesty atau pengampunan pajak, Said menyatakan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah dan DPR yang meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan legal standing pemohon (buruh) yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Ia menuturkan, buruh adalah pembayar pajak taat yang mengisi SPT setiap bulan dan mempunyai NPWP. Sehingga terasa aneh bila DPR dan Pemerintah meminta legal standing buruh dibatalkan.
Terutama sikap DPR sebagai wakil rakyat, yang dalam persidangan tersebut dipertanyakan keras oleh buruh. "Suara DPR yang notabene adalah wakil rakyat lebih kuat bernuansa suara Pemerintah," tegas dia.
Buruh juga tidak sependapat dengan penjelasan Sri Mulyani dalam sidang tersebut yang menyatakan pajak yang diambil oleh pemerintah selama ini untuk kesejahteraan rakyat, serta nilai pajak setiap tahun bertambah.
Pernyataan ini jelas membodohi rakyat dan menyakitkan perasaan buruh karena faktanya walaupun nilai penerimaan pajak bertambah tetapi angka kesenjangan pendapatan (gini ratio) justru meningkat.
"Ini artinya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan yang lebih menyakitkan, para orang kaya (korporasi) tersebut yang notabene menikmati pertumbuhan ekonomi dari pajak yang dibayarkan oleh buruh dengan taat, dan secara bersamaan mereka malah mengemplang pajak," jelas dia.
Selain itu, lanjut Said, fakta lain menunjukkan, walaupun angka penerimaan pajak dari tahun ke tahun meningkat, tetapi realisasi penerimaannya tidak pernah tercapai setiap tahun, hanya sekitar 86 persen dari target.
Buruh juga sependapat dengan pertanyaan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, yang mempertanyakan bahwa UU tax amnesty ini berpotensi menjadi pintu masuk pencucian uang, yang berasal dari uang korupsi perdagangan manusia, narkoba, dan dana ilegal lainnya atas nama pengampunan pajak.
"Karena dalam UU Tax Amnesty sumber dana repatriasi dan deklarasi tidak dipersoalkan dan tidak boleh dibuka ke muka umum," ungkap dia. (sumber : Liputan6.com)