JAKARTA - Sejumlah buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8,25 persen di 2017.
Keputusan tersebut dianggap telah melanggar Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 karena ditetapkan sebelum 1 November.
Presiden KSPI, Said Iqbal mengecam pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang menyebut pemerintah memutuskan kenaikan upah minimum 2017 sebesar 8,25 persen. Pernyataan ini disampaikan sebelum 1 November yang merupakan batas waktu penetapan UMP.
Hal ini, katanya, jelas melanggar UU No 13 Tahun 2003 Pasal 88 dan 89 yang menegaskan bahwa UMP atau UMK ditetapkan oleh Gubernur. Dalam Permenaker disebutkan penetapan kenaikan UMP disampaikan Gubernur 60 hari sebelum berlaku UMP yang baru atau yang jatuh pada 1 November.
"Jadi secara aturan UU penetapan kenaikan UMP oleh Gubernur pada 1 November bukan oleh Menaker sebelum 1 November," tegas Said dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Said menilai pernyataan Menaker ini bersifat provokatif, menabrak UU sehingga terlihat sekali figur menteri yang tidak paham UU dan takut kehilangan jabatan.
Pernyataan ini dipandang akan memancing aksi buruh yang lebih besar karena Menaker melindungi kepentingan para pemodal yang berlindung dibalik PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Ada upaya menekan Gubernur seolah-olah sebagai bawahannya, juga karena takut yang berlebihan, dan tidak menghormati Gubernur. Menaker yang paling bertanggungjawab kembalinya rezim upah murah dan memiskinkan buruh miskin melebihi rezim soeharto," tegasnya.
Atas dasar hal tersebut, buruh menuntut Menaker mundur. Kemudian meminta agar para Gubernur dan Bupati memutuskan upah minimum yang layak demi mengejar ketertinggalan dengan upah buruh Vietnam,Malaysia, Filipina, dan Thailand.
"Usulan buruh naikkan UMP Rp 650 ribu di 2017, menjadi Rp 3,8 juta untuk wilayah DKI Jakarta dan Rp 3,85 juta di Bekasi. Ini akan menyejahterakan buruh," harap Said.
red / Liputan6.com