BEKASI - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Bekasi Bekasi M Kosim mengatakan segera melakukan audiensi bersama sejumlah pihak, terkait pembahasan rencana kenaikan upah minimal kota (UMK) sebesar Rp 300 ribu lebih pada 2017.
Rencanannya, pembahasan itu akan berlangsung pada 15 November 2016 dengan melibatkan perwakilan serikat pekerja dan perwakilan kalangan pengusaha.
''Rencana kenaikan UMK di wilayah kami dari Rp 3,3 juta menjadi Rp 3,6 juta pada 2017 didasari atas Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,'' ujarnya,
Menurut Kosim, aturan itu dihitung berdasarkan tingkat kebutuhan hidup layak (KHL) serta tingkat pertumbuhan inflasi di Kota Bekasi dengan estimasi total kenaikan 8,21 persen. "Yang perlu digarisbawahi adalah UMK itu hanya berlaku bagi buruh yang baru masuk kerja dan masih lajang," jelasnya.
Kosim mengakui, kalangan buruh saat ini masih menolak penetapan UMK berdasarkan aturan tersebut karena dinilai tidak maksimal mendongkrak kenaikan sesuai kebutuhan hidup. "Namun, selama aturan tersebut belum dicabut oleh pemerintah pusat, kami di daerah tetap akan mengacu pada besaran kenaikan tersebut," katanya.
Draf terkait peningkatan UMK itu telah dilaporkan Disnakertans kepada Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi untuk dievaluasi dan segera dikirimkan kepada Gubernur Jawa Barat untuk disahkan. "Sampai saat ini, draf tersebut belum ditandatangani wali kota Bekasi karena masih dalam tahap pembahasan. Kalau pada 15 November 2016 nanti semua pihak sepakat maka besaran kenaikan Rp 300 ribu lebih itu akan segera ditandatangi kepala daerah," katanya.
Targetnya, sambung Kosim, UMK tersebut harus sudah berlaku paling lambat pada awal Januari 2017. "Kalau pembahasannya molor, paling tidak sudah harus ada keputusan di akhir Desember 2016," katanya.
Sejumlah gelombang aksi demonstrasi buruh di Kota Bekasi mewarnai agenda pembahasan UMK 2017 di kota tersebut. "Kami tidak mau UMK ditetapkan atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan," kata Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kota Bekasi Abrori yang melakukan unjuk rasa bersama sekitar 500 anggota GSBI Kota Bekasi di kantor Pemkot Bekasi, Kamis.
Menurut Abrori, aturan tersebut dianggap merugikan kaum buruh karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam melakukan survei KHL. Selain itu, kata dia, aturan tersebut juga tidak melibatkan kaum buruh dalam proses perundingan upah. "Kenaikan upah yang ditentukan lewat PP Nomor 78/2015 tidak lebih dari 10 persen, malah justru upah hanya rata-rata delapan persen yang diberlakukan," katanya.
Di sisi lain, kata Abrori, kebutuhan hidup buruh lebih besar dari kenaikan UMk setiap tahunnya. "Kontrakan kami hanya sepetak yang di dalamnya dihuni hingga enam orang keluarga dengan ruang yang sempit," katanya mengeluh.
Lebih jauh, Abrori menyatakan, PP Nomor 78/2015 menentukan kenaikan upah setiap lima tahun sekali. Artinya, lanjut dia, kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh hanya lima tahun sekali. ''Padahal, setiap bulan saja pemerintah tidak bisa mengontrol harga,'' ucapnya.
Para buruh mengaku telah melakukan survei di Kota Bekasi untuk kebutuhan hidup buruh pada 2016. Berdasarkan survei itu, kata Abrori, kebutuhan minimal keluarga buruh di Kota Bekasi Rp 8 juta per bulan.
''Dengan upah kami hanya Rp 3 juta, terjadi ketimpangan yang sangat jauh,'' katanya.
red/ sumber : Republika.co