JAKARTA - Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar expert meeting menggenai sistem pengupahan Indonesia dengan
pakar hukum perburuhan dan Dekan Universitas Indonesia (UI). Pasalnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan telah menjadi perdebatan bagi kalangan buruh/pekerja di Indonesia.
Anggota Komite III DPD Abdul Aziz mengatakan bahwa sebenarnya PP tersebut sudah lama dinanti oleh para buruh/pekerja. Namun faktanya, pasca terbit PP ini justru bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja sehingga merugikan kaum buruh/pekerja.
"Padahal PP ini sangat ditunggu-tunggu oleh kita. Namun kenyataannya seperti ini (bertentangan)," ucapnya di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Terkait hal tersebut, ia mengusulkan agar DPD bisa menggunakan hak bertanya kepada pemerintah terkait PP ini. Lantaran, sejauh ini PP tersebut hanya mandek di Mahkamah Agung (MA).
"Kita seharusnya menggunakan hak bertanya terkait PP ini. Karena PP ini menjadi problem buruh secara nasional," jelas senator asal Sumatera Selatan itu.
Sementara itu, Pakar Hukum Perburuhan Andari Yurikosari mengatakan bahwa ada perbandingan PP 78 Tahun 2015 baik itu sebelum dan sesudah terbit. Sebelum PP ini muncul, mekanisme penetapan kenaikan upah minimum dipatok menggunakan formula yang ditentukan lewat upah minimum tahun berjalan, inflasi, dan PDB nasional.
"Sementara sesudah PP ini, variabel Kebutuhan Hidup Layak (KHL) tidak digunakan," jelas dia.
Sebelum lahirnya PP tersebut, lanjutnya, penetapan upah minimum setiap tahun dilaksanakan dengan melakukan survei KHL. Dengan adanya PP 78 Tahun 2015 Pasal 43 Ayat 5, komponen KHL akan ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun.
"Hal ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 21 Tahun 2016 tentang KHL,” papar Andari.
Dikesempatan yang sama, Dekan Fakultas Hukum UI Siti Hajati Hoesin, menjelaskan PP No. 78 Tahun 2015 merupakan peraturan lebih lanjut dari UU No. 13 Tahun 2003. Namun kenyataanya, isi PP tersebut banyak yang tidak sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003.
"Ibaratnya jika ada satu atau dua genteng rumah rusak, mengapa semuanya harus diperbaiki. Jadi memang PP ini harus dirubah, namun tidak semua," jelas dia.
Ia juga tidak memahami mengapa uji materi PP itu justru mandek di MA. Bahkan, Siti merasa heran hadirnya PP ini juga serasa diam-diam.
"Maka pemerintah harus bertanggungjawab atas hal tersebut. Kenapa pemerintah tidak ada keterbukaan?," tanya dia.
sumber :Sumbar.com