BURUHTODAY.COM - Sekretaris Komite Nasional Perempuan Mahardika (KNPM) Mutiara Ika Pratiwi menuturkan berdasarkan penelitian dari 45 perusahaan/pabrik garmen, sebanyak 50 persen buruh garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung yang hamil dan pernah hamil sepanjang tahun 2015-2017, merasa takut saat mengetahui dirinya hamil.
Kata Ika, pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2017, dengan melibatkan 118 buruh garmen perempuan, dimana 59 buruh berstatus kerja tetap dan 59 orang berstatus kontrak, dengan spesifikasi 25 orang sedang hamil dan 93 lainnya pernah hamil untuk periode 201-2017 saat masih bekerja di KBN Cakung.
"Penelitian ini menemukan fakta bahwa 50 persen dari responden penelitian menyatakan rasa takut atau rasa khawatir saat mengetahui dirinya hamil," Ujar Mutiara di Jakarta, kemarin.
Ketakutan para buruh yang hamil muncul karena tiga faktor pemicu, yaitu khawatir mengalami keguguran, cemas kehilangan pekerjaan, dan takut penghasilannya berkurang.
Soal keguguran, Mutiara mengungkapkan, buruh perempuan di KBN Cakung tidak mendapatkan fasilitas kerja yang mendukung kehamilan. Padahal, perempuan hamil yang mengalami perubahan tubuh, seharusnya mendapatkan kursi kerja yang berbeda dengan buruh yang tidak hamil. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya keguguran.
"Misalnya, sistem kerja target yang sangat melelahkan. Kemudian perusahaan sering tidak memandang bagaimana tubuh perempuan berubah ketika hamil yang selayaknya mendapat perhatian khusus. Tapi karena target, semuanya terabaikan sehingga buruh yang hamil diperlakukan sama dengan buruh yang tidak hamil," paparnya.
Tak hanya fasilitas, para buruh yang hamil juga tidak mendapatkan dukungan dari sistem jam kerja. Bahkan, sebagian buruh hamil masih mendapatkan kewajiban kerja lembur, setidaknya satu jam setelah selesai bekerja.
Selain itu, para buruh di KBN Cakung mengalami kecemasan akan kehilangan pekerjaan ketika mengetahui dirinya hamil. Sebab, sebagian besar buruh garmen di KBN Cakung berstatus kontrak. Mereka tidak ingin perusahaan menyetop kontraknya, bila terbukti penurunan kinerja karena kehamilan.
"Ketika kontraknya sudah habis, salah satu cara mereka agar tetap bisa survive, adalah dengan menyembunyikan kehamilan," tutur Mutiara.
Koordinator Program Penelitian KNPM, Vivi Widyawati mengatakan, perlindungan terhadap buruh perempuan dan pemenuhan hak maternitas merupakan kewajiban pemerintah, perusahaan dan serikat buruh untuk memastikan terpenuhinya hak-hak maternitas buruh perempuan.
Pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap implementasi UU Ketenagakerjaan, serta menjalankan fungsi pengawasan bidang ketenagakerjaan dengan meningkatkan perhatian pada hak maternitas di tempat kerja.
"Sebab masih banyak perusahaan yang belum patuh dan konsisten menjalankan hal-hal yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan terkait perlindungan maternitas buruh perempuan," ujarnya.
KNPMjuga meminta pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO no. 183 tahun 2000 yang mengatur tentang waktu istirahat, layanan kesehatan dan tunjangan sangat diperlukan buruh perempuan dalam menjamin keberlanjutan dan kelayakan kehidupannya bersama sang anak.
"Perusahaan harus membangun dan menyatakan komitmen untuk mengakui, menghargai serta melindungi hak-hak maternitas buruh perempuan, dengan mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku," katanya.
Komitmen tersebut dapat ditunjukkan dengan sosialisasi informasi maternitas, membangun lingkungan kerja yang kondusif dengan ruang laktasi dan klinik kesehatan yang memadai, serta memberikan perlakuan khusus, terutama bagi buruh hamil.
Kata Ika, pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2017, dengan melibatkan 118 buruh garmen perempuan, dimana 59 buruh berstatus kerja tetap dan 59 orang berstatus kontrak, dengan spesifikasi 25 orang sedang hamil dan 93 lainnya pernah hamil untuk periode 201-2017 saat masih bekerja di KBN Cakung.
"Penelitian ini menemukan fakta bahwa 50 persen dari responden penelitian menyatakan rasa takut atau rasa khawatir saat mengetahui dirinya hamil," Ujar Mutiara di Jakarta, kemarin.
Ketakutan para buruh yang hamil muncul karena tiga faktor pemicu, yaitu khawatir mengalami keguguran, cemas kehilangan pekerjaan, dan takut penghasilannya berkurang.
Soal keguguran, Mutiara mengungkapkan, buruh perempuan di KBN Cakung tidak mendapatkan fasilitas kerja yang mendukung kehamilan. Padahal, perempuan hamil yang mengalami perubahan tubuh, seharusnya mendapatkan kursi kerja yang berbeda dengan buruh yang tidak hamil. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya keguguran.
"Misalnya, sistem kerja target yang sangat melelahkan. Kemudian perusahaan sering tidak memandang bagaimana tubuh perempuan berubah ketika hamil yang selayaknya mendapat perhatian khusus. Tapi karena target, semuanya terabaikan sehingga buruh yang hamil diperlakukan sama dengan buruh yang tidak hamil," paparnya.
Tak hanya fasilitas, para buruh yang hamil juga tidak mendapatkan dukungan dari sistem jam kerja. Bahkan, sebagian buruh hamil masih mendapatkan kewajiban kerja lembur, setidaknya satu jam setelah selesai bekerja.
Selain itu, para buruh di KBN Cakung mengalami kecemasan akan kehilangan pekerjaan ketika mengetahui dirinya hamil. Sebab, sebagian besar buruh garmen di KBN Cakung berstatus kontrak. Mereka tidak ingin perusahaan menyetop kontraknya, bila terbukti penurunan kinerja karena kehamilan.
"Ketika kontraknya sudah habis, salah satu cara mereka agar tetap bisa survive, adalah dengan menyembunyikan kehamilan," tutur Mutiara.
Koordinator Program Penelitian KNPM, Vivi Widyawati mengatakan, perlindungan terhadap buruh perempuan dan pemenuhan hak maternitas merupakan kewajiban pemerintah, perusahaan dan serikat buruh untuk memastikan terpenuhinya hak-hak maternitas buruh perempuan.
Pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap implementasi UU Ketenagakerjaan, serta menjalankan fungsi pengawasan bidang ketenagakerjaan dengan meningkatkan perhatian pada hak maternitas di tempat kerja.
"Sebab masih banyak perusahaan yang belum patuh dan konsisten menjalankan hal-hal yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan terkait perlindungan maternitas buruh perempuan," ujarnya.
KNPMjuga meminta pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO no. 183 tahun 2000 yang mengatur tentang waktu istirahat, layanan kesehatan dan tunjangan sangat diperlukan buruh perempuan dalam menjamin keberlanjutan dan kelayakan kehidupannya bersama sang anak.
"Perusahaan harus membangun dan menyatakan komitmen untuk mengakui, menghargai serta melindungi hak-hak maternitas buruh perempuan, dengan mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku," katanya.
Komitmen tersebut dapat ditunjukkan dengan sosialisasi informasi maternitas, membangun lingkungan kerja yang kondusif dengan ruang laktasi dan klinik kesehatan yang memadai, serta memberikan perlakuan khusus, terutama bagi buruh hamil.
(sumber RMOL.COM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar