OLEH: MUJIBURRAHMAN
Akademisi UIN Antasari Banjarmasin
SETELAH disambut hangat dengan tarian tradisional
ditingkahi tepukan terbang para siswa, saya diajak masuk ke ruang kelas
oleh Sugiono, Kepala Sekolah Indonesia Jeddah.
“Bapak Mujiburrahman ini adalah Rektor UIN Antasari
Banjarmasin. Ini kesempatan yang sangat baik. Jarang-jarang ada rektor
mau datang ke sekolah,” katanya memperkenalkan saya kepada siswanya.
Meski rektor dan kepala sekolah itu tak jauh beda, begitulah cara Sugiono memotivasi siswanya agar mau mendengarkan
ceramah saya. Saya beruntung bisa berdialog dengan para siswa Sekolah
Indonesia di Jeddah dan Mekkah, masing-masing pada 15 dan 19 Maret 2018,
karena didukung penuh oleh Konjen Dr Mohamad Hery Saripudin dan
Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya, Sukarno, KJRI Jeddah.
Karena merasa sama-sama sebagai pendidik dan bekerja di lembaga
pendidikan, saya selalu gembira jika diundang berbicara dan berdiskusi
dengan para guru dan siswa. Saya misalnya merasa tersanjung ketika
diundang oleh sekolah-sekolah unggulan atau favorit di Kalsel seperti
SMA Banua, Sekolah Islam Sabilal Muhtadin, Global Islamic Boarding School, MAN Insan Cendekia dan beberapa SMAN di Banjarmasin.
Namun Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Mekkah (SIM) jelas memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. SIJ dan SIM memang bukan sekolah favorit untuk orang-orang berduit, dan bukan pula
sekolah unggulan khusus untuk anak-anak cerdas. Dua sekolah itu dan
satu lagi di Riyadh terasa istimewa justru karena menampung anak-anak
para pekerja Indonesia di Arab Saudi.
“Hidup kita ini sebagian kita pilih, dan sebagian lagi dipilihkan
Tuhan. Anda tidak memilih dilahirkan di sini atau dilahirkan dari
orangtua yang bekerja di sini. Namun, Anda bisa memilih untuk terus
belajar mengejar cita-cita atau tidak,” kata saya memulai. “Mungkin Anda
galau menatap masa depan. Saya bisa memahami karena saya juga berasal
dari keluarga ‘elit’ alias ekonomi sulit,” canda saya.
Saat dibuka kesempatan berdialog, cukup banyak yang mengangkat tangan
dan bertanya. Pertanyaan mereka cukup unik. Bagaimana caranya agar
siswa terus bergairah membaca buku? Bagaimana agar kita terhindar dari
bahaya ponsel? Apa yang membuat Bapak berhasil dalam studi? Apakah kami
akan diberi kemudahan jika mendaftar kuliah di UIN Antasari? Bagaimana caranya agar bisa menjadi profesor?
Semua pertanyaan itu menunjukkan bahwa mereka menyimpan impian untuk
masa depan yang diraih melalui pendidikan. “Anak-anak di sini, meskipun
jam belajar sudah habis hingga menjelang Magrib, mereka masih tetap
ingin berada di sekolah. Mereka merasa senang di sekolah karena banyak
teman dan bisa bermain. Saya kadang harus mematikan listrik agar mereka
mau pulang,” kata Sugiono.
Sugiono bercerita, pada bulan-bulan awal bertugas di Saudi, dia agak
kaget dengan seringnya menerima permohonan pindah sekolah ke Indonesia
dari orangtua siswa. Umumnya karena orangtuanya pulang, dipulangkan atau
tertangkap. Ketetapan pajak dari pemerintah Arab Saudi perorang sebesar
200 riyal perbulan juga sangat berat. Tidak sedikit pekerja asing,
termasuk dari Indonesia, yang memilih pulang.
Total siswa SIJ dari tingkat TK, SMP hingga SMA adalah 1.258 orang.
Jumlah yang cukup besar. Adapun siswa SIM yang dipimpin oleh Plt. Kepala
Sekolah, Sinsin Rosyidin, berjumlah 470 orang. Mereka berasal dari
berbagai etnis di Indonesia. Yang mengejutkan, ketika siswa SIM saya
minta, “Tolong angkat tangan para siswa yang orang Banjar.” Ternyata
yang mengancungkan tangan cukup banyak!
Saya terharu mendengar kerja keras kepala sekolah dan para guru yang
mendidik anak-anak itu. Saya merasa terbebas dari kritik Elizabeth
Pisani bahwa banyak orang menjadi guru bukan karena ingin menjadi
pendidik, tetapi karena ingin mendapatkan pekerjaan belaka. Guru bukan
sekadar pekerja, tetapi pendidik yang menanamkan ilmu, keterampilan dan
harapan masa depan bagi murid-muridnya.
Alhasil, di manapun kita berada, di Arab Saudi atau Indonesia,
pendidik harus lebih dari sekadar pencari upah. Pendidik memiliki misi
membentuk generasi yang lebih baik. Guru itu pekerja plus!
(sumber Banjarmasinpost)
Post Top Ad
Senin, 23 April 2018
Mujiburrahman : Guru Itu Pekerja Plus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar