Ilustrasi/net. |
Dari hasil investigasi Ombudsman ditemukan banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dengan jabatan rendah atau tanpa keahlian seperti sebagai buruh kasar.
Temuan ini hasil investigasi di sepuluh provinsi, antara lain DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat. Investigasi dilakukan pada Juni-Desember 2017.
"Tenaga kerja asing khususnya dari Tiongkok arusnya deras setiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskilled labour dan tidak bisa dikonfirmasi tidak ada pengawasan tentang status visa mereka," kata Komisioner Ombudsman Laode Ida di kantornya, Jakarta, Kamis (26/4).
Laode mengatakan, pihaknya menemukan fakta sebanyak 90% pekerja tenaga kerja asing di lapangan menggunakan topi kuning yang biasa digunakan pekerja di level bawah. Hanya 10% sisanya menggunakan topi merah dan topi hijau untuk jabatan supervisor dan manajemen.
“Di Morowali saja ada sekitar 200 orang sopir yang bawa mobil di perusahaan itu TKA,“ kata Laode.
Ada pula kasus tenaga kerja asing yang masa berlakunya telah habis atau tidak diperpanjang, namun tetap bekerja di Indonesia.
Data Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik per Oktober 2017 yang diolah Ombudsman menunjukkan bahwa kasus tersebut terjadi di enam perusahaan, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bahagia Steel, PT Wuhuan Engineering Co. Ltd, PT The Sixth Chemical Engineering Construction, PT China Eleventh Chemical Construction, dan PT Huaxing Chemical Engineering.
Bahkan ada perusahaan pemberi kerja tenaga kerja asing di Gresik yang tidak dapat dipastikan keberadaannya.
Selain itu, Ombudsman menemukan ada 1733 tenaga kerja asing yang belum memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) namun sudah bekerja. Temuan ini berdasarkan data Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Tenggara pada 2017,
Rinciannya, pada 6 Januari 2017 terdapat 765 dari 942 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA. Pada 9-10 Maret 2017 terdapat 758 dari 856 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA. Pada 24 Agustus 2017 terdapat 210 dari 742 tenaga kerja asing yang belum memiliki IMTA.
Berbagai temuan ini tak sesuai dengan data Kemenaker yang menyebutkan 85.974 IMTA yang diterbitkan pada 2017 hanya untuk jabatan menengah ke atas.
Laode menyebut masalah tersebut karena belum terintegrasinya data antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah mengenai jumlah persebaran dan alur keluar-masuknya tenaga kerja asing di Indonesia. Berbagai data lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah saat ini berbeda-beda dan kerap tak sesuai dengan temuan lapangan yang dilakukan Ombudsman.
Lemahnya regulasi
Masalah lainnya terkait dengan rasio investasi yang tak sebanding dengan jumlah tenaga kerja asing. Berdasarkan data BKPM pada September 2016, Tiongkok hanya menempati peringkat ketiga dalam total investasi di Indonesia dengan nilai US$ 1,6 triliun. Sementara, data Kemenaker tahun 2016 menyebutkan jika jumlah tenaga kerja asal Tiongkok menempati posisi pertama tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia sebesar 21.271.
“Investasi Tiongkok itu urutan ketiga, tapi TKA-nya urutan pertama. Padahal Singapura investasinya menempati posisi pertama,” kata Laode.
Menurut Laode, berbagai masalah tersebut disebabkan lemahnya regulasi yang ada terkait tenaga kerja asing. Salah satu yang menjadi pemicu karena dihapuskannya kewajiban menggunakan bahasa Indonesia, rasio pemekerjaan tenaga kerja asing terhadap TKI, dan kepastian ahli teknologi kepada TKI pendamping dalam Permenaker Nomor 35 Tahun 2015.
Penindakan terhadap penyalahgunaan IMTA juga selama ini dinilai belum maksimal. Sebab, sanksi hanya berupa pengeluaran tenaga kerja asing dari lokasi kerja. “Tidak ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan, padahal di UU Ketenagakerjaan (perusahaan) harus dikasih sanksi,” kata Laode.
Laode mengatakan, belum maksimalnya penindakan juga akibat sumber daya manusia dan anggaran Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) yang dibentuk pemerintah masih terbatas. Selain itu, birokrasi untuk menindak tenaga kerja asing yang melanggar rumit dan cenderung tidak produktif.
“Perusahaan juga tidak patuh untuk melaksanakan pelaporan TKA secara berkala,” kata Laode.
Ombudsman menyarankan agar pemerintah mengevaluasi penempatan dan pengawasan tenaga kerja asing di Indonesia. Kepada Kemenaker, Ombudsman meminta adanya perubahan atas Permenaker Nomor 35 Tahun 2015 kembali ke Permenaker Nomor 16 Tahun 2015.
Sebab, aturan lama tersebut dinilai memuat ketentuan yang lebih ketat menjaring tenaga kerja asing ke Indonesia.
Kemenaker juga diminta membangun sistem teknologi informasi mengenai integrasi data penempatan dan pengawasan tenaga kerja asing. Selain itu, dia meminta Kemenaker untuk memberikan prioritas penuh terhadap tenaga kerja lokal.
“Melakukan penindakan hukum secara tegas dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan TKA serta memberikan reward and punishment bagi pegawai yang melakukan pengawasan,” kata Laode
Direktur Bina Penegakan Hukum Kemenaker Iswandi Hari menyatakan akan mengevaluasi penempatan dan pengawasan tenaga kerja asing di Indonesia. Berbagai masukan Ombudsman pun akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
“Khusus untuk Permenaker, kami akan jadikan bahan evaluasi ke depan. Kami juga akan meningkatkan lagi Timpora. Masih banyak yang harus dioptimalkan,” kata Iswandi.
Kabaintelkam Polri, Komjen (Pol) Lutfi Lubihanto mengatakan, pihaknya akan memperkuat pengawasan terhadap tenaga kerja asing yang melakukan pelanggaran dengan membuat regulasi yang lebih ketat.
“Polri masuk dalam pengawasan orang asing, Polri juga lakukan giat pantau di daerah tentang keberadaan orang asing,” kata Lutfi.
sumber Katadata.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar