Masofonada Dachi,mantan pekerja PT Smoe Indonesia-Batam,menuntut hak pesangon dan uang jasa sebesar Rp70 juta, yang tidak dibayarkan perusahaan. |
BATAM - PT Smoe Indonesia digugat oleh salah satu buruh eks karyawannya bernama Masofonada Dachi ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Tanjungpinang.
Gugatan dilayangkan lantaran perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi penunjang minyak dan gas bumi itu, tidak mau membayarkan pesangon Masofonada Dachi sejak diberhentikan secara sepihak.
Gugatan dengan Perkara No: 15/Pst.Sus-PHI/2019/PN.TPG tersebut dilayangkan melalui Sofumboro Laia, SH, sebagai kuasa hukum.
“Sidang perdana di PHI tanjungpinang pada Kamis (21/3/2019) kemarin,” kata Sofumboro di Batam, Sabtu (23/3/2019) siang.
Sidang di pimpin Awani Setiawati SH, sebagai Ketua Majelis dan 2 orang Hakim anggota, Suhadmadi, SE dan Yasokhi Zalukhu, SH, sebagai Hakim Ad hock.
Namun, sesaat sebelum sidang dimulai, Kuasa Hukum PT. Smoe Indonesia yang sudah hadir, pergi tidak ikut sidang.
“Sidang perdana ditunda, karena tergugat (Kuasa Hukum PT Smoe) pergi, tidak mau ikut sidang, padahal sudah hadir. PHI akan memanggil kembali tergugat karena mangkir,” kata Sofu.
“Sidang akan dilanjutkan tanggal 11 April 2019 mendatang,” sambungnya.
Sofu mengemukakan, berdasarkan anjuran Disnaker Kota Batam No.: B.1188/TK-4/PPHI/XI/2018, PT. Smoe Indonesia telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Masofonada Dachi dengan posisi sebagai driver pada Januari 2018 silam, secara sepihak.
Dalam anjuran Disnaker Kota Batam, Masofonada Dachi yang bekerja sebagai supir di PT. Smoe seharusnya menjadi karyawan permanent, terhitung tahun 2011 atau pada saat kontrak ke 3.
“Januari 2018, klien saya (Dachi) diberhentikan PT. Smoe secara sepihak, tanpa mau membayarkan hak-hak atau pesangon klien saya, sesuai ketentuan perundang-undangan,” kata Sofu.
Sofu menjelaskan, didalam surat perihal anjuran itu, Disnaker menegaskan PT. Smoe Indonesia yang berdomisili di Kawasan Industri Kabil Kecamatan Nongsa Batam itu, telah melanggar UU No.13 /2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 59.
Ia mengatatan, hubungan kerja yang dilakukan kedua belah pihak berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tidak memenuhi ketentuan hukum. Hal itu sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (4) dan ayat (6) UU No.13/2003.
“Sehingga akibat PKWT itu, demi hukum berubah status klien saya menjadi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu PKWTT (permanent),” paparnya.
Dalam gugatannya, Dachi melalui Penasehat Hukum meminta hak-haknya sesuai ketentuan dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kami sebagai pihak yang dirugikan oleh PT. Smoe sangat yakin PHI dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum atas kasus ini. Sehingga kedepan pengusaha lebih berhati-hati dan tidak sembarangan mem-PHK-kan karyawan tanpa mau membayar pesangon,” ungkap Sofu.
Sementara itu, HRD PT Smoe Indonesia Eldiyansah dalam keterangan tertulisnya menyatakan, Dachi dipekerjakan berdasarkan PKWT, lamanya sesuai dengan proyek yang ia kerjakan.
“Saudara Dachi sudah mengetahui dan menyetujui bekerja dalam hubungan PKWT sesuai proyek yang dikerjakan,” kata Eldiyansah.
Menurutnya, setiap pelamar di PT Smoe sudah tahu kalau perusahaan membutuhkan karyawan sesuai kebutuhan proyek, baru mereka melamar kembali sebagai karyawan baru berstatus PKWT.
“Saudara Dachi bersedia bekerja secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun untuk PKWT itu,” kata Eldiyansah.
Menurut Perusahaan, dengan berakhirnya PKWT itu, berakhir juga kontraknya di PT Smoe.
Perusahaan beranggapan, dengan berakhirnya hubungan kerja, maka saudara Masofonada Dachi tidak berhak mendapat pesangon dan uang jasa seperti tuntutannya sebagai karyawan PKWTT.
(Sumber: https://www.patrolmedia.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar