JAKARTA - Aktivitas tambang di Kabupaten Bintan periode 2010-2016 disebut dikuasai dan dikendalikan Mafia Tambang. Sentral kekuasaan dan kebijakan ada di tangan Bupati Bintan, yang saat itu dijabat Ansar Ahmad, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Provinsi Kepri periode 2020-2024.
Pada hari yang sama, dua elemen masyarakat Kepri, yakni LSM Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) dan Syahrial Lubis yang menggunakan jasa pengacara Hambali Hutasuhut SH telah melaporkan dugaan korupsi atas aktivitas tambang di Bintan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (8/12).
Sebelum mereka, kabarnya sejumlah elemen juga sudah pernah melaporkan dugaan korupsi Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) pascatambang ke KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, namun sejauh ini belum ada proses hukum.
" Kita tak tahu seperti apa laporan soal mafia tambang ini ke KPK, kalau belum ada proses bisa jadi datanya minim tidak cukup sebagai bukti permulaan untuk penyidikan." kata Ketua Kodat86, Cak Ta'in Komari SS di Gedung Merah Putih KPK Jakarta (8/12).
Menurut Cak Ta'in, kesimpang siuran angka DJPL dan DKTM tambang di Bintan selama ini menjadi indikator ada banyak permainan yang disembunyikan mereka. "Akurasi data itu penting, supaya tidak menimbulkan banyak asumsi negatif di publik," ujarnya.
Lebih lanjut Cak Ta'in menjelaskan, data yang didapatkan BPK yang disampaikan dalam LHP tahun 2016-2017, bisa berbeda dengan data tim supervisi Gubernur Kepri 2018 berbeda cukup mencolok. BPK merilis DJPL hanya Rp. 122.128.445.363,88 ditarik dua rombongan dengan total Rp. 69.953.963.880,67. Sementara tim supervisi Gubernur menyebut angka Rp. 133.156.997.000, dengan selisih belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 168.050.000.000, dan sisa saldo di BPR Bestari Bintan Rp. 17.000.000.000, dan BPR Bintan Rp. 20.000.000.000,-
"Sepertinya data itu sengaja dibuat kacau supaya tidak dapat ditelusuri dengan mudah dan benar," sindir Cak Ta'in.
Ditambahkan Cak Ta'in, untuk melihat angka real jumlah setoran dana DJPL maupun DKTM/CSR itu dihitung dari kuota ekspor hasil tambang, atau Ijin Eksplorasi dari Bupati Bintan. "Data di Kemendag dan Distamben Bintan pasti ada," tegasnya.
"Jika penyidik KPK yang sudah turun tangan, data apapun pasti bisa didapatkan. Sebab siapapun yang menghilangkan dan merusak data bisa masuk kategori tindak pidana korupsi juga," tambah Cak Ta'in.
Sementara Hambali Hutasuhut berharap penyidik KPK dapat menindaklanjuti laporan kliennya secepatnya. "Data yang kami sampaikan ke KPK cukup lengkap sebagai bukti permulaan memulai penyidikan. Kita garap proses hukum secepatnya dilakukan," katanya.
Menurut Hambali, proses hukum itu langkah elegan untuk mengakhiri suatu fenomena kasus supaya tidak jadi gorengan politik menjelang pemilu dan pilkada. " Keputusan hukum itu bisa mengakhiri spekulasi yang tak pasti. Mestinya semua pihak mensupport gerakan ini," tegasnya.
Syahrial Lubis yang memberikan kuasa kepada Hambali menegaskan, pihaknya menghendakinya proses hukum terkait mafia tambang yang selama ini informasi simpang siur dan sengaja ditenggelamkan. "Saya tidak paham soal hukum, makanya saya kasih kuasa ke pengacara. Saya kasih data dan bukti-buktinya, dia yang mengatur semua," jelas Lubis.
Terlepas kepentingan apapun yang dibawa para pelapor, dugaan tindak pidana korupsi dari DJPL maupun DKTM tambang di Bintan patut diproses hukum. Spekulasi bahwa para mafia tambang selalu kebal hukum harus dilawan dengan membawa kasusnya ke meja persidangan. ***
Editor red.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar