KEPRI - Pelapor dugaan korupsi Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) pascatambang di Kabupaten Bintan periode 2010-2016 ke KPK pekan lalu, mendapat intimidasi dan ancaman dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan terlapor, mantan Bupati Bintan 2006-2011 dan 2011-2016 yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Provinsi Kepri 2020-2024.
Bentuk intimidasi dilakukan dengan menyerang dengan kata-kata dalam beberapa grup WhatsApp. Bahkan beberapa di antaranya berada mengancam seperti pelapor akan "berjalan seperti bebek" dan hendak diracun jika masuk ke Tanjungpinang.
Menurut pelapor yakni Ketua LSM Kodat86, Cak Ta'in Komari SS dan Syarial Lubis yang memberikan kuasa laporan kepada Hambali Hutasuhut SH, mereka sebenarnya tidak terlalu risau dengan baik intimidasi dan ancaman tersebut. Tapi beberapa orang menyarankan untuk menyampaikan persoalan itu ke publik sehingga jika dalam kurun waktu proses laporan dugaan korupsi DJPL di KPK terjadi sesuatu pada mereka, maka yang membuat intimidasi dan ancaman bisa orang pertama yang tertuduh.
"Ada bagusnya juga sih disampaikan ke publik soal intimidasi dan ancaman itu, setidaknya publik tahu jika terjadi sesuatu yang janggal pada kami, aparat tahu siapa yang harus diamankan duluan," kata Cak Ta'in yang diaminkan Syarial Lubis di Batam Center (13/12).
Lebih lanjut Cak Ta'in menjelaskan, pihaknya tahu ada keresahan yang meliputi terlapor maupun para pendukungnya sehingga melakukan tindakan dan mengucap kata-kata yang tidak sepantasnya. "Sebenarnya kaki tidak terusik dengan kata-kata mereka, tapi kami sadar bahwa pelaporan itu beresiko, apalagi ketika kami terus melakukan investigasi terkait kasus tersebut, tentu apa saja bisa mereka lakukan dan terjadi yang tidak kami duga sebelumnya," ujarnya.
Sementara Lubis yang dikenal bar-bar justru lebih rileks menanggapi intimidasi dan ancaman yang disampaikan. "Kami santai-santai saja dan tetap bekerja sebagaimana biasa. Tidak ada pekerjaan yang tidak beresiko," kata Lubis.
Beberapa kalimat yang bernada intimidasi dan ancaman itu seperti: 'Ta'in Komari dan Syahrial Lubis... Siap-siap jalan bebek...'; 'Lubis mau diracun di Tanjungpinang'; ' Lubis mau makan di mana kita bayar sekarang, tapi pakai rantau anjing yang saya beli ya...'; 'Lubis gak berani balek Batam... Sampai di bandara langsung dibawa ke Nongsa...' dan lainnya.
Cak Ta'in Komari dan Syarial Lubis melalui kantor pengacara Hambali Hutasuhut SH telah melaporkan dugaan korupsi DJPL pascatambang di Kabupaten Bintan periode 2010-2016 ke KPK pada Kamis, 8 Desember 2022. Gubernur Kepri Ansar Ahmad sendiri telah menanggapi laporan tersebut melalui beberapa media dan menyatakan dirinya tidak mengambil DJPL sepeserpun, bahkan mantan Bupati Bintan dua periode itu menantang kalau terbukti dia sendiri akan menyerahkan dirinya ke KPK.
"Orang-orang sekitar gubernur dan para pendukung politiknya terlalu responsif, padahal pelaporan kasus dugaan korupsi itu hal yang biasa. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir kalau memang tidak melakukan," jelas pengacara Lubis, Hambali Hutasuhut SH.
Hambali menambahkan, melaporkan dugaan korupsi itu gak warga negara dan dilindungi oleh undang-undang. Seharusnya semua pihak bisa saling menghormati. "Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara itu diatur undang-undang dan diperkuat dengan peraturan pemerintah. Jadi tidak ada yang salah." tegasnya.
"Justru mereka yang terlalu reaktif itu yang justru menimbulkan tanda tanya dan memperkuat laporan, mengapa harus risih kalau tidak terlibat dan melakukan. Nanti kan proses hukum juga yang membuktikan apakah laporan itu memenuhi unsur diproses atau tidak," tambah Hambali.
Dalam laporan ke KPK disebutkan terjadinya kesimpangsiuran angka DJPL, LHP KPK menyebutkan dana tersimpan sebesar Rp. 122 miliar dan terjadi penarikan total Rp. 69 miliar. Artinya ada dana saldo DJPL yang mesti masih tersimpan di rekening setoran DJPL pada PD BPR Bintan. Sementara tim supervisi Gubernur Kepri tahun 2018 merilis seharusnya dana DJPL sebesar Rp. 204 miliar, dengan selisih Rp 168 miliar yang dijelaskan.
Sayangnya fakta di lapangan, meskipun terjadi penarikan Dana DJPL oleh perusahaan tambang, tapi tidak ada dilakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan oleh perusahaan tersebut. Bekas tambang tetap dibiarkan menjadi kolam yang tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemilik lahan. Selain itu, informasi bahwa saldo DJPL tinggal Rp. 17 miliar di BPR Bestari Bintan dan Rp. 20 Miliar di PD BPR Bintan, ada penarikan yang tidak jelas alias ada penarikan fiktif.
"Ada banyak kejanggalan dalam pengelolaan DJPL tersebut, dan biarkan proses hukum yang akan membuktikan semuanya. Tidak akan ada yang tidak bertanggung jawab akan terseret-seret dalam hal ini. Jadi selowa saja semua ya, " tambah Cak Ta'in. ***
Editor red.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar